Pembatasan Kasasi Perkara TUN Dalam UU No.5 Tahun 2004 Tentang MA dan Sinkronisasinya dengan RUU Admistrasi Pemerintahan

Written by Administrator
Category:

Latar Belakang
Pada Tahun 2004 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah telah mensahkan Undang-undang (UU) No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman �yang mengganti sepenuhnya UU No. 14 tahun 1970 dan UU No. 5 tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Pembaruan peraturan perundang-undangan ini merupakan suatu keniscayaan dalam rangka pembenahan lembaga peradilan agar mampu menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana dicita-citakan oleh konstitusi kita.

. Pembaruan peraturan perundang-undangan ini merupakan suatu keniscayaan dalam rangka pembenahan lembaga peradilan agar mampu menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana dicita-citakan oleh konstitusi kita.
Pembaruan peraturan perundang-undangan di bidang peradilan diatas pada dasarnya disamping ditujukan untuk menyesuaikan dengan perubahan Undang-Undang Dasar 1945, juga ditujukan untuk membenahi kelemahan-kelemahan yang ada pada peraturan perundang-undangan yang lama. Menurut banyak kalangan, kelemahan yang mendasar dari peraturan perundang-undangan di bidang peradilan yang lama adalah kurang maksimal dalam mendorong upaya menciptakan sistem yang kondusif untuk melahirkan pengadilan yang independen, tidak memihak, bersih, kompeten, transparan dan efisien.
Terkait dengan kedudukan Mahkamah Agung terdapat beberapa kemajuan yang diatur dalam UU No.5 Tahun 2004 yaitu Perluasan organisasi Mahkamah Agung dan pemberian wewenang pada MA untuk mengelola aspek administrasi, organisasi dan keuangan pengadilan (penyatuan satu atap). Selain aspek organisatoris, UU No.5 Tahun 2004 juga mengatur tentang adanya pembatasan perkara yang dapat dimintakan kasasi (walaupun batasannya masih minim).
Adanya Pasal yang mengatur mengenai pembatasan kasasi Terhadap perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam Pasal 45A ayat (2) huruf c UU MA merupakan suatu terobosan hukum dalam rangka mengurangi penumpukan perkara Tata Usaha Negara yang masuk ke MA. Berdasarkan data yang direalese Januari 2007 maka didapati fakta bahwa sepanjang Tahun 2006, MA hanya menyelesaikan empat perkara dari 505 perkara kasasi TUN yang masuk ke MA.
Keberadaan Pasal 45A ayat (2) huruf c UU MA ini bukannya tanpa pro kontra, pihak-pihak yang merasa berkeberatan dengan Adanya ketentuan pembatasan ini melancarkan berbagai upaya perlawanan baik itu melalui opini di media maupun upaya pengajuan perlawanan hukum dengan cara mengajukan uji materi UU MA kepada Mahkamah Konstitusi.
Uji materi Pasal 45A ayat (2) UU MA diajukan oleh Hendriansyah, Direktur CV Sungai Bendera Jaya, yang beroperasi di Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur yang menganggap ketentuan Undang-Undang Mahkamah Agung yang mengatur tentang pembatasan perkara di tingkat kasasi, dinilai melanggar hak dan rasa keadilan masyarakat yang dirugikan oleh kebijakan pejabat daerah. Menurut kuasa hukum Hendriansyah, Tumbur Ompu Sunggu, kliennya dirugikan oleh Surat Keputusan Bupati Kutai Timur yang mencabut izin usaha sarang burung di Kutai Timur. CV Sungai Bendera Jaya telah mengantongi izin usaha selama tiga tahun. Namun, satu tahun kemudian izin tersebut dicabut dan diberikan kepada perusahaan lain. CV Sungai Bendera Jaya lalu mengajukan gugatan tata usaha negara ke Pengadilan TUN Samarinda dan dimenangkan. Namun, putusan itu dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi TUN DKI Jakarta. Saat akan mengajukan kasasi, pihaknya ditolak oleh PTUN Samarinda karena ada aturan pembatasan kasasi.
Antara pembatasan kasasi terhadap Terhadap perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah dalam rangka mengurangi penumpukan perkara di MA di satu sisi dengan kemungkinan terlanggarnya hak dan rasa keadilan masyarakat akibat adanya aturan tersebut di sisi lain merupakan hal yang menarik untuk dikaji secara akademis guna mendapatkan jawaban atas persoalan tersebut.
Selain itu mengenai pembatasan kasasi terhadap Terhadap perkara tata usaha negara dalam rangka mengurangi penumpukan perkara di MA ini juga memiliki relasi dengan penyusunan RUU Administrasi Pemerintahan yang saat ini tengah dipersiapkan pemerintah yang mengatur mengenai upaya peningkatan kualitas tindakan adminsitrasi negara yang salah satunya melaui paya pembuatan Keputusan Tata Usaha Negara yang berkualitas. Selain mengatur mengenai upaya peningkatan kualitas tindakan adminsitrasi negara RUU Administrasi Pemerintahan (RUU AP) juga mengatur mengenai perluasan kewenangan PTUN. Salah satu perluasan kewenangan PTUN yang diatur dalam RUU AP adalah kewenangan untuk menguji Keputusan dan/atau tindakan diskresi Pejabat Administrasi Pemerintahan.

Permasalahan

Berdasarkan latar belakang dan uraian diatas maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut : Pertama, Apakah pembatasan kasasi terhadap Terhadap perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah merupakan tindakan diskriminatif dan merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak masyarakat untuk mendapatkan keadilan. Kedua, bagaimanakah Sinkronisasi pengaturan pembatasan kasasi perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah sebagaimana diatur dalam UU MA dengan perluasan kewenangan PTUN dalam RUU Administrasi Pemerintahan.

Pembahasan
A. Pembatasan Perkara dan Hak Masyarakat Untuk Mendapatkan Keadilan
Untuk menilai apakah Pembatasan kasasi Terhadap perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam 45A ayat (2) huruf c UU MA melanggar hak masyarakat maka dapat dinilai dari beberapa faktor yaitu :Pertama, bagaimanakah definsi hukum dan keadilan serta bagaimana cara untuk mendapatkan keadilan bagi masyarakat diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia (access to Justice); kedua, apakah disediakan upaya hukum jika seandainya terhadap putusan hakim yang terhadapnya tidak dapat dimohonkan kasasi itu terdapat kesalahan, kekhilafan, dan kekeliruan yang dapat menyebabkan kerugian hak konstitusional Pemohon.
Hukum dan keadilan adalah dua konsep yang berbeda. Namun membebaskan konsep hukum dari ide keadilan cukup sulit karena secara terus-menerus dicampur-adukkan secara politis terkait dengan tendensi ideologis untuk membuat hukum terlihat sebagai keadilan. Jika hukum dan keadilan identik, jika hanya aturan yang adil disebut sebagai hukum, maka suatu tata aturan sosial yang disebut hukum adalah adil, yang berarti suatu justifikasi moral. Tendensi mengidentikkan hukum dan keadilan adalah tendensi untuk menjustifikasi suatu tata aturan sosial. Hal ini merupakan tendensi dan cara kerja politik, bukan tendensi ilmu pengetahuan. Pertanyaan apakah suatu hukum adalah adil atau tidak dan apa elemen esensial dari keadilan, tidak dapat dijawab secara ilmiah, maka the pure theoryof law sebagai analisis yang ilmiah tidak dapat menjawabnya. Yang dapat dijawab hanyalah bahwa tata aturan tersebut mengatur perilaku manusia yang berlaku bagi semua orang dan semua orang menemukan kegembiraan di dalamnya. Maka keadilan sosial adalah kebahagiaan sosial.
Jika keadilan dimaknai sebagai kebahagiaan sosial, maka kebahagiaan sosial tersebut akan tercapai jika kebutuhan individual sosial terpenuhi. Tata aturan yang adil adalah tata aturan yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan tersebut. Namun tidak dapat dihindarkan adanya fakta bahwa keinginan seseorang atas kebahagiaan dapat bertentangan dengan kepentingan orang lain. Maka keadilan adalah pemenuhan keinginan individu dalam suatu tingkat tertentu. Keadilan yang paling besar adalah pemenuhan keinginan sebanyak-banyaknya orang.
Konsep hukum dan keadilan ini telah memperoleh jaminan pengakuan dalam UUD Republik Indonesia yaitu Pasal 1 ayat (3) yang mengatur : �Negara Indonesia adalah negara hukum.� Sebagaimana telah menjadi pengetahuan bersama, gagasan negara hukum merupakan gagasan modern yang mempunyai banyak perspektif dan boleh dikatakan selalu aktual. Salah satu ahli yang sering dirujuk ketika membicarakan gagasan negara hukum (rechtsstaat) dalam tradisi eropa kontinental adalah Friedrich Julius Stahl. Unsur-unsur yang harus ada dalam rechtsstaat adalah pertama, Pengakuan hak asasi manusia; kedua, pemisahan kekuasaan, ketiga, pemerintahan berdasar atas undang-undang; dan keempat, peradilan administrasi. Sedangkan unsur-unsur yang harus terdapat dalam rule of law adalah pertama, supremasi hukum; kedua, persamaan di depan hukum; ketiga, konstitusi yang berdasarkan atas hak-hak asasi manusia.
Sebagai tindak lanjut pengaturan dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 UUD 1945 mengatur : Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dengan demikian Negara kita meletakkan jaminan bahwa penyelenggaraan peradilan ditujukan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Dengan adanya pengaturan dalam pasal 24 UUD 1945 ini menunjukkan bahwa Negara Indonesia tidak memisahkan hukum dan keadilan, hukum dan keadilan merupakan tujuan yang ingin dicapai lewat penyelenggaraan peradilan dan menjadi tugas kekuasaan kehakiman untuk mewujudkan hal tersebut.
Mengenai unsur-unsur yang harus ada dalam negara hukum yang menurut Friedrich Julius Stahl salah satunya adalah adanya peradilan administrasi, maka Indonesia sebagai negara hukum telah mensahkan Undang-Undang No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang pembentukannya ditujukan untuk menyelesaikan kemungkinan timbulnya benturan kepentingan, perselisilian, atau sengketa antara Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan warga masyarakat yang dapat merugikan atau menghambat jalannya pembangunan nasional.

Mengenai kompetensi PTUN dalam sistem peradilan di Indonesia diatur dalam Pasal 47 UU PTUN yaitu bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara.Kewenangan Pengadilan untuk menerima, memeriksa, memutus menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya yang dikenal dengan kompetensi atau kewenangan mengadili. PTUN mempunyai kompetensi menyelesaikan sengketa tata usaha negara di tingkat pertama. Sedangkan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT.TUN) untuk tingkat banding. Akan tetapi untuk sengketa-sengketa tata usaha negara yang harus diselesaikan terlebih dahulu melalui upaya administrasi berdasarkan Pasal 48 UU No. 5 tahun1986 jo UU No. 9 tahun 2004 maka PT.TUN merupakan badan peradilan tingkat pertama. Terhadap putusan PT.TUN tersebut tidak ada upaya hukum banding melainkan kasasi.
Di Indonesia sampai dengan sekarang ada 26 PTUN. Berdasarkan Keppres No. 52 Tahun 1990 tentang Pembentukan PTUN di Jakarta, Medan, Palembang, Surabaya, Ujung Pandang. Keppres No. 16 Tahun 1992 tentang Pembentukan PTUN di Bandung, Semarang dan Padang. Keppres No. 41 Tahun 1992 tentang Pembentukan PTUN Pontianak, Banjarmasin dan Manado. Keppres No. 16 Tahun 1993 tentang Pembentukan PTUN Kupang, Ambon, dan Jayapura. Keppres No. 22 Tahun 1994 tentang Pembentukan PTUN Bandar Lampung, Samarinda dan Denpasar. Keppres No. 2 Tahun 1997 tentang Pembentukan PTUN Banda Aceh, Pakanbaru, Jambi, Bengkulu, Palangkaraya, Palu, Kendari, Yogyakarta, Mataram dan Dili. Untuk wilayah hukum PTUN Dili, setelah Timor Timur merdeka bukan lagi termasuk wilayah Republik Indonesia.
peranan PTUN sebagai lembaga kontrol yuridis terhadap pemerintah telah memberikan kesempatan terhadap seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingan dirugikan oleh suatu keputusan tata usaha Negara untuk dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tata usaha negaratutan agar Keputusan tata usaha negara yang disengketakan dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau disertai tata usaha negaratutan ganti rugi dan rehabilitasi.
Berdasarkan laporan tahunan Mahkamah agung Republik Indonesia Tahun 2007 disebutkan dalam periode Tahun 2007 pengadilan tingkat pertama menerima total 3.514.709 perkara, atau naik sebesar 26,11% dari jumlah perkara yang diterima pada tahun 2006 sebesar 2.787.053 perkara. Dari jumlah tersebut, jumlah perkara terbesar adalah perkara yang ada pada Peradilan Umum yaitu sebesar93,6 % dari total perkara pada tingkat pertama di empat lingkungan peradilan dengan catatan bahwa95% diantaranya merupakan perkara pidana cepat, ringan dan lalu lintas. Selanjutnya, porsi kedua danseterusnya diduduki oleh perkara pada peradilan agama sebesar 6,1 %, peradilan militer 0,27 % dan pada peradilan Tata Usaha Negara sebesar 0,03 %.
Dari keseluruhan perkara yang masuk pada pengadilan tingkat pertama tersebut. jumlah perkara yang telah diputus yang hanya sedikit di bawah jumlah perkara masuk yaitu kurang lebih 99,7%. Dengan kondisi ini maka dapat dikatakan bahwa pada umumnya perkara pada pengadilan tingkat pertama diselesaikan tepat pada waktunya. Dengan rasio pemutusan yang kurang lebih 99,7 % dari total perkara yang masuk, dapat disimpulkan bahwa para pencari keadilan telah memperoleh hak-haknya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh Mahkamah Agung.
Pada periode 2007, jumlah perkara yang dimintakan banding ke pengadilan banding pada empat yurisdiksi adalah sebanyak 12.408 perkara, atau naik 10,77% dari periode sebelumnya. Porsi ini masih didominasi oleh banding dari peradilan umum sebesar 80 % (9880 Perkara), yang disusul oleh peradilan agama sebesar 13 % (1650 Perkara), pada peradilan Tata Usaha Negara sebesar 5 % (626 Perkara), sedangkan pada peradilan Militer adalah sebesar 2 % (252 Perkara) dari keseluruhan perkara pada tingkat banding. Untuk rasio penyelesaian perkara pada Pengadilan Tingkat banding rata-rata mencapai 98,8%dari total perkara yang masuk, dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa kinerja yang kurang lebih sama juga terjadi pada pengadilan tingkat banding, tidak ada penumpukan perkara yang berlebihan padapengadilan tingkat banding.
Dari jumlah perkara yang masuk untuk dimintakan banding pada peradilan tata usaha yaitu sebesar 626 perkara menunjukkan bahwa kurang lebih 55% (dari 1067 perkara Tata Usaha Negara yang masuk ke pengadilan tingkat pertama) baik penggugat maupun tergugat tidak puas dengan putusan pada PTUN dan menempuh jalur banding. Ketidak puasan ini bisa dipengaruhi banyak faktor, diantaranya adalah: pertama, ketidakrelaan Pejabat Tata Usaha Negara dengan putusan PTUN yang mengkoreksi keputusan yang telah dibuat pejabat tersebut; kedua, ketidakrelaan penggugat untuk menerima keputusan PTUN yang menyatakan bahwa Putusan TUN yang dibuat oleh Pejabat TUN adalah sah dan tidak melanggar norma hukum maupun asas-asas umum penyelenggaraan pemerintahan.
Pada tahun 2007, Mahkamah Agung menerima total 9.516 perkara, atau turun 0,09% dibandingkan dengan perkara yang masuk pada tahun 2006. Sepanjang tahun 2007, Mahkamah Agung memutus sebanyak 10.714 perkara, dan mengirimkan 10.554 perkara kembali ke pengadilan pengaju. sisa perkara belum putus yang masih harus ditangani oleh Mahkamah Agung sampai tanggal 14 Maret 2008 adalah sebanyak 9.388 perkara. Ini menurun dari sisa awal tahun 2007 yang berjumlah 12.025. Penyelesaian perkara di atas tentunya merupakan pencapaian yang cukup signifikan mengingat jumlah perkara yang masuk ke Mahkamah Agung RI rata-rata sebanyak 9.200 perkara tiap tahunnya, penyelesaian perkara ini tidak hanya memutus perkara saja akan tetapi meliputi minutasi dan pengiriman berkas perkara ke Pengadilan Pengaju. Hal ini terkait dengan kedudukan Mahkamah Agung sebagai puncak dari kekuasaan kehakiman dimana peradilan tertinggi berada, sehingga menyebabkan sebagian besar upaya hukum yang dilakukan oleh para pihak bermuara pada Mahkamah Agung.
Meskipun di tahun 2007 dari segi kinerja MA dalam memutus perkara meningkat, namun Tumpukan Perkara di MA per Maret 2008 sebanyak 9.388 tetap saja mengganggu dan dapat berdampak tersanderanya rasa keadilan bagi para pihak yang terkait dengan perkara yang belum diputus tersebut. Karena itu upaya pembatasan perkara perlu dilakukan, walalupun saat ini MA baru melakukan pembatasan perkara terhadap perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan.
Dilihat Dari perpektif hak masyarakat untuk mendapatkan keadilan, sebenarnya pembatasan perkara terutama terhadap perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah bukanlah upaya melanggar hak atas keadilan bagi masyarakat justru dilihat dari konsep keadilan menurut hans kelsen sebagaimana penulis uraikan diatas, pembatasan perkara ini lebih ditujukan untuk Keadilan yang paling besar yaitu pemenuhan keinginan sebanyak-banyaknya orang. Karena berdasarkan tabel diatas, permohonan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung terhadap putusan pengadilan tinggi (banding) dari semua lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara, dari tahun ke tahun menunjukkan pertambahan yang cukup signifikan (jumlahnya mencapai ribuan perkara dari semua lingkungan badan peradilan), hal ini dapat berakibat terhadap menumpuknya permohonan kasasi ke Mahkamah Agung, yang pada gilirannya dapat menyebabkan setiap permohonan kasasi ke Mahkamah Agung membutuhkan rentang waktu yang cukup panjang dan lama (3 sampai 5 tahun, bahkan tidak jarang sampai 10 tahun), jika demikian halnya dapat merugikan para pihak pencari keadilan (justicebelen), hal demikian dapat berdampak pada penciptaan kepastian hukum (rechtszekerheid) menjadi barang langka dan mustahil;
Selain itu pembatasan kasasi terhadap perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah peraturan perundang-undangan bukanlah pembatasan terhadap upaya untuk memperoleh keadilan karena peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, telah memberikan keleluasaan dan kebebasan terhadap setiap orang untuk memperjuangkan nilai-nilai keadilan, bahkan pengadilan tidak diperkenankan untuk menolak suatu perkara yang masuk, dengan alasan tidak ada atau kurang jelasnya aturan hukum yang berlaku (vide Pasal 16 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman), dengan perkataan lain akses untuk memperoleh keadilan melalui lembaga peradilan (access to justice) sangat terbuka lebar, tidak terganggu apalagi terhalangi.
Pembatasan kasasi terhadap perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah juga bukan upaya meniadakan hak masyarakat untuk memperjuangkan keadilannya karena pada dasarnya terhadap setiap putusan terakhir pengadilan (dari semua lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara) dapat dimintakan upaya hukum banding maupun kasasi, kecuali undang-undang menentukan lain (vide Pasai 21 ayat (1) dan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman), yang juga antara lain diatur dalam ketentuan Pasal 131 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara; Pasal 63 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama; dan Pasal 335 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Selain itu pembatasan terhadap upaya hukum kasasi terhadap putusan terakhir pengadilan in casu perkara tata usaha negara berupa keputusan pejabat daerah, tidaklah dapat serta merta dianggap sebagai perlakuan yang bersifat diskriminatif sepanjang pembatasan atau pembedaan yang dilakukan tidak didasarkan atas agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa dan keyakinan politik (vide Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, maupun Pasal 2 ayat (1) International Covenant on Civil and Political Rights); Pembatasan tersebut , menurut telah sesuai dengan ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, selain diatur dengan undang-undang, juga pembatasan tersebut tidak bertentangan dengan norma-norma agama, kesusilaan, ketertiban umum maupun norma hukum yang berlaku.
Dengan demikian ketentuan Pasal 45A ayat (2) huruf c UU MA, tidaklah menghilangkan, membatasi atau setidak-tidaknya telah menghalang-halangi hak masyarakat untuk melakukan upaya hukum, maupun akses untuk memperoleh keadilan melalui lembaga yudikatif (access to justice), dan ketentuan ini tidaklah menimbulkan perlakuan yang bersifat diskriminatif terhadap pemenuhan untuk mendapatkan kepastian hukum (rechtszekerheid), sebagaimana dijamin dalam ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, karena ketentuan ini justru telah memperkokoh dan memberikan jaminan atas terciptanya kepastian hukum (rechtszekerheid) dan rasa keadilan dalam masyarakat, sesuai dengan prinsip peradilan yang cepat, sederhana dan biaya yang murah.
Pembatasan perkara yang dapat dimintakan kasasi semata-mata bukanlah hanya terjadi di Indonesia tetapi pembatasan terhadap perkara yang layak untuk dimohonkan kasasi telah merupakan praktik yang lazim di negara-negara hukum yang demokratis, baik yang menganut tradisi common law maupun civil law, baik yang menganut sistem juri maupun sistem non-juri. Pembatasan demikian tidak tepat dianggap sebagai diskriminasi sepanjang terhadap putusan pengadilan tingkat pertama itu telah diberikan kesempatan untuk mengujinya pada tingkat yang lebih tinggi in casu pengadilan tingkat banding yang berperan baik sebagai judex facti maupun judex juris;
Terkait dengan kemungkinan jika putusan hakim yang terhadapnya tidak dapat dimohonkan kasasi itu terdapat kesalahan, kekhilafan, dan kekeliruan yang dapat menyebabkan kerugian hak konstitusional Pemohon, maka Pemohon masih dimungkinkan untuk mengajukan upaya hukum luar biasa yaitu peninjauan kembali ke Mahkamah Agung yang berwenang memperbaiki kekeliruan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Ketentuan demikian diatur dalam Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan, �Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang�.
B. Sinkronisasi pengaturan pembatasan kasasi perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah sebagaimana diatur dalam UU MA dengan perluasan kewenangan PTUN dalam RUU Administrasi Pemerintahan
Seperti telah dibahas dalam bagian sebelumnya, pembatasan kasasi perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah sebagaimana diatur dalam UU MA yang pada dasarnya dimaksudkan untuk mengurangi kecenderungan setiap perkara diajukan ke Mahkamah Agung sekaligus dimaksudkan untuk mendorong peningkatan kualitas putusan pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding sesuai dengan nilai-nilai hukum dan keadilan dalam masyarakat. Pembatasan kasasi perkara tata usaha negara ini memiliki keterkaitan dengan keberadaan RUU Administrasi pemerintahan yang saat ini tengah dipersiapkan oleh pemerintah karena perlunya suatu perkara diperiksa dari pengadilan tingkat pertama, tingkat banding hingga ke pengadilan tingkat kasasi akan tidak lagi menjadi kebutuhan yang mendesak apabila kualitas keputusan Tata Usaha Negara pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding telah mencerminkan nilai-nilai hukum dan keadilan yang berlaku dalam masyarakat.

Administrasi pemerintahan di Indonesia masih belum optimal menganut prinsip prinsip tata kepemerintahan yang baik karena melewati masa 61 tahun kemerdekaan, Indonesia belum mempunyai Undang-Undang Administrasi Pemerintahan (UUAP) yang mengatur hubungan antara pemerintah dan masyarakat dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan. UU AP ini berlaku menjadi payung bagi semua sektor dan sekaligus menjadi dasar pengujian dalam Peradilan Tata Usaha Negara (sebagaimana telah diatur dalam UU 5 tahun 1986 jo UU 9 tahun 2004).
Jika dapat dipilah maka kebradaan Undang-Undang tentang PTUN memang mengatur secara lebih detil hukum formal (acara) ketimbang hukum materiilnya. Dalam praktik, hakim sering mengalami kesulitan apabila berhadapan dengan perkara yang hukum materiilnya tidak diatur dalam Undang-Undang tentang PTUN. Apabila demikian, hakim akan mencari jalan keluar dengan mendasarkan pada pendapat para ahli (doktrin) atau yurisprudensi.karena itu penyusunan RUU AP adalah sebagai solusi atas ketiadaan hokum materiil terkait administrasi pemerintahan.
Kondisi objektif yang menjadi dasar penyusunannya adalah perilaku pejabat pemerintahan (eksekutif) yang dikesankan cenderung diskriminatif, sewenang-wenang dalam menetapkan tindakan dan keputusan, menyalahgunakan kewenangan, serta kurang memperhatikan perlindungan terhadap hak-hak perseorangan. Kondisi obyektif lainnya adalah perjalanan Peradilan TUN selama 20 tahun yang masih memiliki kelemahan antara lain: keputusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap seringkali tidak dapat dijalankan secara efektif, karena Peradilan TUN tidak memiliki kewenangan eksekutorial dalam perkara Peradilan TUN.
Substansi Pengaturan dalam RUU-AP
UU-AP secara signifikan telah mendorong upaya menjadikan administrasi pemerintahan di Indonesia memenuhi syarat-syarat birokrasi modern. Yakni, pemisahan status antara instansi pemerintah dan instansi negara, pemisahan negara dan pemerintah, netralitas negara dan lembaga negara, serta memperkuat posisi publik bila berhadapan dengan administrasi pemerintahan.
RUU-AP digunakan sebagai dasar hukum bagi pejabat Administrasi Pemerintahan dalam menetapkan tindakan dan keputusan Administrasi Pemerintahan. Dasar hukum tersebut menganut asas-asas umum pemerintahan yang baik dan menjadi norma hukum yang mengikat bagi pejabat administrasi pemerintahan dalam membuat keputusan. Dalam Pasal 2 RUU-AP diatur 20 (dua puluh) asas penyelenggaraan administrasi pemerintahan dan dapat berkembang sesuai dengan perkembangan dan dinamikan masyarakat. Asas-asas umum pemerintahan wajib dilaksanakan oleh setiap pejabat Administrasi Pemerintahan dalam membuat KeputusanAdministrasi Pemerintahan. Kedua Puluh (20) asas-asas penyelenggaraan administrasi pemerintahan tersebut adalah :
a. Asas kepastian hukum;
b. Asas keseimbangan;
c. Asas Kesamaan;
d. Asas kecermatan;
e. Asas Motivasi;
f. Asas tidak melampaui dan atau tidak mencampuradukkan kewenangan;
g. Asas bertindak wajar;
h. Asas keadilan;
i. Asas Kewajaran dan kepatutan;
j. Asas menanggapi pengharapan yang wajar atau asas menepati janji;
k. Asas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal atau dibatalkan;
l. Asas perlindungan atas pandangan hidup dan/atau kehidupan pribadi;
m. Asas tertib penyelenggaraan administrasi pemerintahan;
n. Asas keterbukaan;
o. Asasa proporsionalitas;
p. Asas profesionalitas;
q. Asas akuntabilitas;
r. Asasa kepentingan umum;
s. Asas efisiensi;
t. Asas efektifitas.

RUU AP dan Penguatan PTUN
Meski PTUN saat ini lebih berwibawa dengan kewenangan melakukan upaya paksa, namun UU No 9 Tahun 2004 belum mengatur tahap upaya eksekusi putusan TUN secara paksa. Akibatnya, eksekusi PTUN kerap tertunda sangat lama akibat upaya banding, kasasi, atau peninjauan kembali (PK) yang dilakukan pihak tergugat. Bahkan, bila kasus itu dimenangkan penggugat, upaya paksa tidak dapat dilaksanakan dengan mudah. Selain kerap tertunda oleh upaya hukum lebih lanjut, putusan PTUN juga kerap tidak dilaksanakan pejabat TUN karena menilai penerbitan keputusan administrasi pemerintahan (KAP) adalah tanggung jawab negara, bukan tanggung jawab pribadi pejabat yang menerbitkan KAP. Alasan yang kerap diberikan adalah kebijakan yang ditetapkan pejabat administrasi pemerintahan dilakukan atas nama Negara. Celah tersebut yang akan ditutup dengan RUU Administrasi Pemerintahan (RUU-AP) yang segera diajukan pemerintah untuk dibahas di DPR. RUU tersebut menegaskan upaya paksa terhadap putusan TUN tidak harus melalui atasan TUN, atau cukup dilaksanakan oleh lembaga TUN yang menerbitkan KAP.
Selain itu, RUU-AP juga menegaskan pejabat yang menerbitkan putusan TUN bertanggung jawab atas penerbitan KAP. Dengan demikian, pejabat pemerintahan dapat dikenai sanksi administratif, ganti rugi, dan upaya paksa oleh peradilan TUN bila tindakan atau keputusannya tidak berdasar asas-asas tata kepemerintahan yang baik.
Selain itu, dalam RUU-AP, hakim tata usaha negara mendapat kewenangan eksekutorial yang menjaminkan kompetensi sangat besar. "RUU-AP juga memberikan kewenangan full execution kepada hakim tata usaha negara yang selama ini tidak ditemukan di UU PTUN.

Beberapa pengaturan dalam RUU AP yang berkaitan dengan penguatan TUN adalah :

1. Keputusan Administrasi Pemerintahan adalah semua keputusan tertulis atau tidak tertulis yang dikeluarkan oleh Instansi Pemerintah dan badan hukum lainnya yang berisi tindakan hukum dan tindakan materiil administrasi pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang bersifat konkret, individual, dan final, dalam bidang hukum administrasi negara serta menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata (Pasal ),dengan demikian Obyek sengketa di PTUN berdasarkan RUU-AP tidak hanya Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 tahun 2004 melainkan pula keputusan tidak tertulis yang dikeluarkan oleh Instansi Pemerintah dan badan hukum lainnya yang berisi tindakan hukum dan tindakan materiil administrasi pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang bersifat konkret, individual, dan final, dalam bidang hukum administrasi negara serta menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Dengan demikian Dalam RUU-AP kewenangan PTUN diperluas;
2. Setiap orang, kelompok masyarakat atau organisasi dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan upaya administrasi ke PTUN (Pasal 39);
3. PTUN hanya mengadili gugatan atas keputusan tata usaha negara yang telah menempuh upaya administratif dan ombudsman (Pasal 39);
4. Pejabat pemerintahan bertanggung jawab dan terikat pada keputusan yang ditetapkan dan tindakan yang dilakukan selama dan setelah masa jabatannya (pasal 42);
5. Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan TUN yang in kracht dapat dikenakan upaya paksa berupa pembayaran uang paksa dan atau sanksi administrasi (pasal 43);
6. Upaya paksa dilakukan juru sita atas perintah ketua pengadilan (pasal 43);
7. Pembayaran uang paksa dibebankan pada pejabat pemerintahan yang bersangkutan;
8. Perbuatan melanggar hukum administrasi yang sudah didaftar tapi belum selesai diperiksa oleh pengadilan umum dapat dialihkan dan diselesaikan PTUN (pasal 44);
9. Perbuatan melanggar hukum administrasi pemerintahan yang sudah diperiksa tetap diselesaikan dan diputus pengadilan umum (pasal 44);

Keputusan yang harus melalui upaya administrasi sesuai Pasal 48 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 tahun 2004 merupakan kewenangan PT.TUN dengan RUU-AP bukan lagi kewenangan PT.TUN sebagi pengadilan tingkat pertama, melainkan menjadi kewenganan PTUN.
Sinkronisasi UU MA dengan RUU AP
Tujuan dan Lingkup pengaturanTujuan utama penyusunan RUU AP adalah untuk menyeragamkan (menyamakan persepsi) hukum administrasi. Saat ini hukum administrasi di Indonesia sangat beragam, bahkan cenderung sangat sektoral. Oleh karena itu, yang menonjol adalah ego sektoral dari masing-masing instansi. Tujuan lain adalah mensistematisir dan menyederhanakan peraturan perundang-undangan di bidang hukum administrasi yang tersebar. Selain itu, tujuan penyusunan RUU ini juga untuk memberikan perlidungan kepada individu dari tindakan sewenang-wenang yang dilakukan penguasa.
Menurut penulis beberapa pengaturan dalam RUU AP terutama berkaitan dengan diskresi perlu di sinkronkan dengan Pasal 45A ayat (2) huruf c UU MA yang mengatur mengenai pembatasan kasasi, �Terhadap perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan�. Pasal 25 RUU Administrasi Pemerintahan mengatur :

(1) Pejabat Administrasi Pemerintahan diberikan kewenangan untuk mengambil keputusan yang bersifat diskretif dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan.
(2) Batas-batas hukum yang berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. Tidak bertentangan dengan hukum dan Hak Asasi Manusia;
b. Tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan;
c. Wajib menerapkan asas-asas umum pemerintahan yang baik;
d. Tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan.
(3)Pejabat Administrasi Pemerintahan yang menggunakan diskresi wajib mempertanggungjawabkan keputusannya kepada pejabat atasannya dan masyarakat yang dirugikan akibat keputusan diskresi yang telah diambil.
(4) Keputusan dan/atau tindakan diskresi Pejabat Administrasi Pemerintahan dapat diuji melalui Upaya Administratif atau gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara.
(5) Ketentuan lebih lanjut tentang diskresi diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Ketentuan Pasal 25 ayat (4) RUU APP telah memperluas kewenangan dari Peradilan Tata Usaha Negara yaitu selain menguji keputusan tata usaha negara sebagaimana diatur dalam UU 9 Tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara juga berwenang menguji keputusan dan/atau tindakan diskresi Pejabat administrasi pemerintahan. pertanyaannya adalah apakah pengujian keputusan dan/atau tindakan diskresi Pejabat administrasi pemerintahan daerah dalam akan PTUN mengikuti ketentuan dalam Pasal 45A ayat (2) huruf c UU MA yang mengatur mengenai pembatasan kasasi terhadap perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah ataukah dibuka peluang apabila tidak puas menerima putusan PT TUN untuk mengajukan kasasi ke MA.
Terhadap persoalan diatas maka RUU AP seharusnya menyebutkan secara tegas apakah Keputusan dan/atau tindakan diskresi Pejabat Administrasi Pemerintahan daerah statusnya disamakan dengan Keputusan Administrasi Pemerintahan daerah yang apabila diuji ke PTUN tidak dapat dimintakan kasasi ke MA ataukah statusnya dibedakan dan dapat dimintakan kasasi ke MA . Apabila melihat maksud diaturnya perihal pembatasan perkara yang dimintakan kasasi ke MA yaitu untuk mengurangi kecenderungan setiap perkara diajukan ke Mahkamah Agung sekaligus dimaksudkan untuk mendorong peningkatan kualitas putusan pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding sesuai dengan nilai-nilai hukum dan keadilan dalam masyarakat, maka ada baiknya pengujian terhadap Keputusan dan/atau tindakan diskresi Pejabat Administrasi Pemerintahan daerah hanya sampai tingkat banding saja. Hal ini mengingat beberapa hal; Pertama, pada dasarnya antara keputusan administrasi pemerintahan baik itu keputusan yang tertulis maupun tidak dengan keputusan dan/atau tindakan diskresi Pejabat administrasi pemerintahan daerah adalah sama-sama putusan yang dibuat oleh Instansi Pemerintah dan badan hukum lainnya yang berisi tindakan hukum dan tindakan materiil administrasi pemerintahan, yang membedakannya hanya kondisi dibuatnya keputusan tersebut. Kedua, melihat kecenderungan masyarakat maupun badan atau pejabat pemerintahan yang memiliki budaya hukum rendah dalam menaati, menerima, melaksanakan putusan pengadilan , maka pembatasan terhadap kasasi ini perlu juga dilakukan terhadap pengujian keputusan dan/atau tindakan diskresi Pejabat administrasi pemerintahan daerah, hal ini juga dilakukan dalam rangka menjamin keberlangsungan proses pembangunan agar putusan hakim segera bisa dilaksanakan.

Kesimpulan
Pembatasan Perkara terhadap Terhadap perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak membatasi hak masyarakat untuk mencari keadilan, hal ini juga merupakan praktik yang lazim di negara-negara hukum yang demokratis, baik yang menganut tradisi common law maupun civil law, baik yang menganut sistem juri maupun sistem non-juri. MK juga berpendapat pembatasan demikian tidak tepat dianggap sebagai diskriminasi sepanjang terhadap putusan pengadilan tingkat pertama itu telah diberikan kesempatan untuk mengujinya pada tingkat yang lebih tinggi in casu pengadilan tingkat banding yang berperan baik sebagai judex facti maupun judex juris.
Adanya Rancangan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan yang saat ini tengah disusun telah membawa beberapa hal baru yang positif bagi penguatan peradilan Tata Usaha Negara, diantaranya adalah: (i) Obyek sengketa di PTUN berdasarkan RUU-AP tidak hanya Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 tahun 2004 melainkan pula keputusan tidak tertulis yang dikeluarkan oleh Instansi Pemerintah dan badan hukum lainnya yang berisi tindakan hukum dan tindakan materiil administrasi pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang bersifat konkret, individual, dan final, dalam bidang hukum administrasi negara serta menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata; ii) PTUN hanya mengadili gugatan atas keputusan tata usaha negara yang telah menempuh upaya administratif dan ombudsman (Pasal 39); (iii) Pejabat pemerintahan bertanggung jawab dan terikat pada keputusan yang ditetapkan dan tindakan yang dilakukan selama dan setelah masa jabatannya (pasal 42); (iv) Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan TUN yang in kracht dapat dikenakan upaya paksa berupa pembayaran uang paksa dan atau sanksi administrasi (pasal 43); (v) Upaya paksa dilakukan juru sita atas perintah ketua pengadilan (pasal 43); (vi) Pembayaran uang paksa dibebankan pada pejabat pemerintahan yang bersangkutan; (vii) Perbuatan melanggar hukum administrasi yang sudah didaftar tapi belum selesai diperiksa oleh pengadilan umum dapat dialihkan dan diselesaikan PTUN (pasal 44); (viii) Perbuatan melanggar hukum administrasi pemerintahan yang sudah diperiksa tetap diselesaikan dan diputus pengadilan umum (pasal 44).
Ketentuan Pasal 25 ayat (4) RUU APP telah memperluas kewenangan dari Peradilan Tata Usaha Negara yaitu selain menguji keputusan tata usaha negara sebagaimana diatur dalam UU 9 Tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara juga berwenang menguji keputusan dan/atau tindakan diskresi Pejabat administrasi pemerintahan. pertanyaannya adalah apakah pengujian keputusan dan/atau tindakan diskresi Pejabat administrasi pemerintahan daerah dalam akan PTUN mengikuti ketentuan dalam Pasal 45A ayat (2) huruf c UU MA atau tidak. RUU AP seharusnya menyebutkan secara tegas apakah Keputusan dan/atau tindakan diskresi Pejabat Administrasi Pemerintahan daerah statusnya disamakan dengan Keputusan Administrasi Pemerintahan daerah yang apabila diuji ke PTUN tidak dapat dimintakan kasasi ke MA ataukah statusnya dibedakan dan dapat dimintakan kasasi ke MA.
Rekomendasi
Merupakan keputuhan mendesak bagi penyusun RUU AP untuk melakukan sinkronisasi antara UU MA dengan RUU AP terutama menyangkut keberadaan Pasal 45A ayat (2) huruf c UU MA dengan pengaturan mengenai pengujian diskresi ke PTUN sebagaimana telah diatur dalam Pasal 25 ayat RUU AP. RUU AP seharusnya menyebutkan secara tegas apakah Keputusan dan/atau tindakan diskresi Pejabat Administrasi Pemerintahan daerah statusnya disamakan dengan Keputusan Administrasi Pemerintahan daerah yang apabila diuji ke PTUN tidak dapat dimintakan kasasi ke MA ataukah statusnya dibedakan dan dapat dimintakan kasasi ke MA

UPAYA YANG DAPAT DITEMPUH PENGGUGAT APABILA PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA YANG INKRACHT VAN GEWIJSDE TIDAK DILAKSANAKAN OLEH GUBERNUR

Written by Administrator
Category:

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Indroharto pernah mengatakan bahwa �...kalau pihak-pihak atau lain-lain Badan atau Jabatan TUN diberikan wewenang untuk menyingkirkan suatu Putusan Pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap, maka��hal itu praktis akan dapat membahayakan kelangsungan hidup negara hukum kita�.[1] Pernyataan kekhawatiran Indroharto tersebut sangat jelas menegaskan bahwa betapa urgennya pelaksanaan suatu Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dalam konteks kehidupan bernegara yang berlandaskan padaRechtstaat. Konsekuensi logis dari maksud urgensitas putusan Pengadilan Tata Usaha Negara�dalam tataran ideal�the rule of law adalah keberadaannya tidak dapat diganggu gugat lagi. Oleh karena itu pelaksanaannya harus di taati oleh siapapun juga termasuk pemerintah. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang dimaksud dalam hal ini adalah putusan pengadilan Tata Usaha Negara yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Karena hanya putusan Pengadilan yang�inkracht van gewijsde yang dapat dilaksanakan.[2] Terlepas dari keadaan ideal tersebut di atas, dalam kenyataannya mengenai eksekusi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara ini, kita akan keliru apabila berpendapat bahwa pengertian eksekusi diartikan sebagai eksekusi riil, seperti halnya eksekusi putusan perkara perdata yang dapat dipaksakan melalui bantuan pihak luar (ekstern) Pemerintah. Dalam putusan perkara TUN tidak mungkin Pemerintah selaku pihak tergugat dipaksa dengan upaya paksa oleh sebuah badan ekstern dalam proses eksekusi putusan TUN. Mengenai kemustahilan ini bukanlah�tanpa dasar.��F.A.M Stroink dan J.G. Steenbeek memberikan gambaran�pembenaran�terkait hal tersebut�dalam pernyataannya, �De overheidsbevoegdheden (rechten en plichten) zijn verbonden aan het ambt. Indien bij voorbeeld een burgemeester een bepaalde beschikking afgeeft, wordt rechtens die beschikking afgegeven door het ambt burgemeester, en niet door de natuurlijke person die op dat moment dat ambt bekleedt, de ambtsrager��(kewenangan pemerintahan {hak-hak dan kewajiban} itu melekat pada jabatan. Jika bupati/walikota memberikan keputusan tertentu,�yang�berdasarkan hukum, maka�keputusan itu�adalah�diberikan oleh jabatan Bupati/Walikota, dan bukan oleh individu/orang yang pada saat diberi jabatan, yakni�Bupati/Walikota).�Sehingga ada benarnya pendapat Indroharto yang menyatakan, bahwa tidak mungkin terhadap pemerintah itu diterapkan tindakan upaya paksa (misal : dengan bantuan jurusita) agar secara pribadi melakukan suatu prestasi yang telah diputuskan dalam suatu putusan pengadilan.[3] Dengan�paradigma hukum�yang�sedemikian, membuka kemungkinan yang sangat besar bagi timbulnya arogansi dari pejabat pengemban jabatan dalam melaksanakan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah�inkracht van gewijsde, karena memang tidak adanya kekuatan eksekutorial dalam UU No. 5 Tahun 1986. Sehingga Prinsip peradilan TUN untuk menempatkan kontrol yudisial dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik menjadi bias dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Karena�tidak adanya kekuatan eksekutorial,�sehingga pelaksanaan putusan PTUN tergantung dari kesadaran dan inisiatif dari Pejabat TUN. Setelah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN diadakan perubahan dan penambahan materi muatan melalui Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 dan perubahannya yang terbaru yaitu UU No. 51 Tahun 2009, khususnya mengenai dianutnyateori kesalahan�dalam pasal 116 ayat (4),�yang�merupakan pengembangan dariYurisprudensi�Counsil d�Etat, yang memberikan garis ketegasan untuk�membedakan�antarakesalahan dinas (Faute de serve) dan kesalahan pribadi (Faute de personelle). Melalui pengembangan yurisprudensi tersebut, sehingga kualifikasi bagi�pejabat TUN�yang�tidak patuh�dalam�melaksanakan putusan PTUN,�dinyatakan�tidak sedang melaksanakan peran Negara�yang diberikan wewenang oleh jabatan, akan tetapi cenderung mengarah pada tindakan yang bersifat pribadi.�Dengan demikian�pertanggung jawabannya dibebankan secara pribadi kepada pejabat TUN yang bersangkutan. Berdasarkan�Yurisprudensi�Counsil d�Etat itulah pasal 116 ayat (4) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 mendapatkan dasar argumentatifnya untuk memberikan kewenangan bagi hakim mencantumkan pengenaan �uang paksa���dalam putusan yang amarnya berisi materi yang sesuai dengan maksud pasal 97 ayat (9) huruf b dan c, yakni dalam hal mencabut dan menerbitkan KTUN atau menerbitkan KTUN yang memberi hak. Meskipun ketegasan putusan PTUN dengan mencantumkan pengenaan �uang paksa� dalam upaya mengantisipasi maupun menindak pejabat TUN yang tidak mau melaksanakan amar putusan PTUN��yang�inkracht van gewijsde, akan tetapi pengaturan mengenai tata cara pembayarannya belum diatur, untuk sementara mengenai tata caranya secara analogi dianjurkan oleh Mahkamah Agung mengacu pada ketentuan dalam PP No.43 Tahun 1991 tentang Ganti Rugi Dan Tata Cara Pelaksanaannya Pada Peradilan Tata Usaha Negara. Di balik Ketegasan Pasal 116 ayat (4) UU No.51 Tahun 2009 ternyata masih terdapat beberapa kelemahan, sehingga seolah-olah keberadaan pasal 116 ayat (4) UU No.51 Tahun 2009 hanya sebagai basa-basi para elit politik untuk memenuhi kriteria negara hukum, karena disamping tidak menentukan tata cara pembayarannya secara pasti, juga pengenaan uang paksa ini praktis hanya dimungkinkan berlaku pada perkara yang menyangkut kepegawaian.[4]�Sehingga timbul permasalahan mengenai bagaimanakah bila yang tergugat adalah kepala daerah. Apakah hubungan pemerintah pusat maupun daerah jabatannya dapat dikategorikan layaknya lingkungan kepegawaian agar dapat mengenakan sanksi administratif. Meskipun dalam kenyataannya perkara yang masuk di PTUN sampai saat ini kira-kira 85 % dalam masalah pertanahan, dan belum ada kasus sengketa TUN, dimana Gubernur sebagai tergugat tidak melaksanakan putusan PTUN, namun ini tidak memupus kemungkinan pada suatu saat keadaan ketidak patuhan terhadap putusan PTUN oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara menjadi faktual dikemudian hari. Untuk mengantisipasi ini, maka perlu dideskripsikan upaya apa yang dapat dilakukan penggugat untuk merealisasikan muatan hak yang terkandung dalam putusan PTUN yang tidak dilaksanakan oleh Badan/Pejabat TUN yang�inkracht van gewijsde dan juga ketika surat penetapandwangsom telah dilayangkan serta pengumuman di media massa juga tidak diindahkan oleh pejabat yang bersangkutan. Permasalahan itulah yang kurang lebih menjadi kajian dalam laporan ini, dengan harapan dapat memberikan gambaran untuk mencapai suatu pemerintahan yang baik yang selama ini masih sebatas utopia dalam kehidupan bernegara di Republik Indonesia yang tercinta ini. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah, maka dalam makalah ini ada beberapa masalah yang dirumuskan dan dicari jawaban atau penyelesaiannya secara ilmiah.� Beberapa masalah tersebut adalah sebagai berikut : 1.����Apakah Presiden dapat menjatuhkan sanksi terhadap Gubernur yang tidak melaksanakan Putusan PTUN yang�inkracht van gewijsde? 2.����Upaya Lanjutan Apa yang Dapat Ditempuh Tergugat Dalam Hal Putusan yang�Inkracht van Gewijsde, dan Pasal 116 (4), (5), dan (6) Tidak Dilaksanakan Oleh Kepala Daerah?
C.� Tujuan� : Makalah ini bertujuan untuk : 1.����������������� Untuk melatih menyatakan pikiran secara tertulis. 2.����������������� Sebagai��bentuk penjawab rasa penasaran mengenai kelemahan eksekutorial dari putusan TUN yang disandarkan pada ketentuan UU no.5 Tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004 Jo. UU No. 51 Tahun 2009. D. Manfaat : Adapun manfaat dari makalah ini adalah memberikan kontribusi pemecahan atau jalan keluar permasalahan yang ditemui khususnya dalam masalah putusan PTUN yang tidak dilaksanakan oleh Kepala Daerah dan mengetahui upaya apa yang bisa dilakukan oleh penggugat apabila ini menimpa perkaranya dikemudian hari.
BAB II PEMBAHASAN
A. Tindakan Presiden Apabila Kepala Daerah yang Tidak Merealisasikan Hak�Penggugat yang Termuat Dalam Amar Putusan PTUN yang�Inkracht van Gewijsde.
Dalam Hukum Administrasi Negara terdapat dua macam perlindungan hukum (rechtsbescherming), yaitu perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif (sebagaimana dikemukakan dalam tinjauan pustaka). Pembagian tersebut tidak terlepas dari maksud yang terkandung dalam Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik, yaitu asas kepastian hukum. Untuk menjaga kepastian hukum itulah pada dasarnya perlindungan hukum di realisasikan dengan penegakan hukum. Dalam kajian ini akan terlihat lebih intens penekanannya pada perlindungan hukum yang bersifat represif, karena konteks perlindungan hukum dalam kajian ini dikaitkan pada deskripsi perbuatan melanggar hukum penguasa atau�Onrechtmatig Overheidsdaad(selanjutnya ditulis OOD) yang berarti bukan lagi masuk dalam kompetensi�administrative beroep, melainkan masuk dalam kompetensi Pengadilan. Meskipun belum begitu tegas dapat diputuskan pengadilan mana yang paling kompeten untuk menangani permasalahan OOD, namun mengenai masalah OOD untuk kedepannya akan diatur dalam UU Administrasi Pemerintahan, yang sekarang masih dalam Rancangan. Dimana dalam Pasal 45 ayat (3) RUU Administrasi Pemerintahan menentukan, �Setiap pejabat Administrasi Pemerintahan yang tidak melaksanakan upaya paksa sebagaimana dimaksud dalam pasal 43 ayat (6) dan ayat (8) dikenai pidana kurungan maksimal 3 (tiga) bulan kurungan�. Akan tetapi belum dapat dipastikan apakah efektif diberlakuakan kepada Gubernur selaku Kepala Daerah Tingkat I, mengingat bahwa kedudukannya berdasarkan pemilihan umum secara langsung, sama halnya dengan presiden, berarti apakah dilakukan�impeachment terlebih dahulu sebelum penjatuhan sanksi atau bagaimana, pasal ini masih belum dapat dijamin kepastian hukumnya. Terlepas dari permasalahan di atas, untuk sementara ini sambil menunggu RUU Administrasi Pemerintahan disah-kan, maka hakim tetap berpijak pada UU /5/1986 Jo. UU/9/2004 Jo. UU 51/2009. Perlindungan hukum represif dalam prosesi peradilan administrasi, pemeriksaan perkara oleh hakim hanyalah bertolak ukur pada�rechtmatigheidkarena hakim tidak berhak menggunakan tolak ukur pada�Doelmatigheid, ketidak berhakkan ini berkaitan dengan konsekuensi dari pemisahan kekuasaan antara�yudikatifdan�eksekutif, sehingga kewenangan hakim PTUN hanya berhenti pada putusan yang memuat pertimbangan hukum hasil kajian kriteria�rechtmatigheid, setelah putusan dijatuhkan oleh majelis hakim dan putusan tersebut sudah memiliki kekuatan hukum tetap, maka hakim tidak mungkin mengutus seorang jurusita untuk memaksa Kepala Daerah mematuhi Putusan PTUN, agar terlaksana eksekusi putusan secara riil layaknya dalam kasus-kasus perdata. Meskipun J.B.J.M. Ten Berge pernah mengemukakan bahwa sanksi merupakan inti dari penegakan hukum administrasi, yang istilah asingnya �in cauda venenum� artinya bahwa dibagian akhir kaidah hukum terdapat sebuah sanksi. Akan tetapi pada umumnya��tidak ada gunanya memasukkan kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan bagi Pejabat TUN dalam peraturan perundang-undangan Tata Usaha Negara, ketika aturan tingkah laku itu tidak dapat dipaksakan oleh PTUN.[5]� Karena dalam PTUN yang dikenai sanksi bukan individu pejabatnya, akan tetapi jabatannya. Dalam kepustakaan Hukum, suatu sanksi itu adalah sarana bagi penegakan hukum selain pengawasan, maka sanksi sering dilekatkan pada suatu norma hukum tertentu. Hanya saja dalam hal Administrasi Pemerintahan, suatu sanksi administrasi hanya bisa dijatuhkan oleh pemerintah itu sendiri. Sehingga permasalahan yang timbul adalah apakah mungkin Presiden menjatuhkan sanksi administrasi pada Gubernur yang tidak melaksanakan putusan PTUN sebagai efek jera? Bila mengingat Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya ditulis UU 32/2004,�penulis) yang memberikan otonomi seluas-luasnya untuk memberdayakan wilayah pemerintahan di daerah, dan bila dibandingkan dengan esensi pasal 116 ayat (6) UU 51/2009, dimana dalam redaksi pasal tersebut Presiden didudukkan sebagai pemegang pemerintahan tertinggi namun kewenangan Presiden dalam pasal 116 ayat (6) tersebut hanya menyangkut pada hal (peristiwa) Pejabat TUN yang tidak melaksanakan putusan PTUN yang�inkracht van gewijsde hanya disebutkan dengan menggunakan��term �memerintahkan�, yang sama sekali tidak mengandung unsur sanksi. Penegasan kewenangan Presiden secara Implisit dalam pasal 116 ayat (6) demi�memberi perlindungan hukum (dalam masalah putusan yang tidak dilaksanakan oleh Kepala Daerah) Penggugat, maka terlihat penegakan hukum lebih dikembalikan kepada pemerintah sendiri dalam hal ini pemerintah atasan.[6]� Secara ketatanegaraan, kedudukan dalam pemerintahan selalu dalam hubungan yang vertikal dan horisontal. Untuk menelusuri bagaimana tanggung jawab Presiden (sesuai konteks kajian ini), atas kedudukan Kepala Daerah, maka kajiannya sebatas dilakukan melalui dua penelusuran teoritis, yaitu tanggung jawab dilihat dari bentuk Negara Republik Indonesia, dan Tanggung jawab dilihat dari perpektif teori Kewenangan B.������ Dilihat Dari Bentuk Negara Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa �Negara Indonesia ialah Negara kesatuan, yang berbentuk republik�. Dari sana maka di ketahui bahwa sistem administrasi pemerintahan Negara republik Indonesia pada dasarnya bersifat sentralistik sesuai dengan konsekuensi logis penganutan bentuk Negara kesatuan (eenheidsstaat atau�unitary), dimana kekuasaan tertinggi pemerintahan tetap berada pada kekuasaan pemerintah pusat.[7] Begitu pula halnya Shepherd L. Witmen dan John J. Wuest dalam gambarannya menegaskan secara implisit bahwa implikasi dari Negara kesatuan terhadap sistem kerja pemerintahan adalah senantiasa akan mengarah kepada sentralisasi, dengan menyebutnya sebagai �Sistem Pemerintahan Kesatuan� (Unitary Sistems of Government). � Namun seiring waktu dalam merealisasikan tujuan dari negara Indonesia yang termuat dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia pada alinea keempat, yang menyebutkan, �� melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia�.. yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan yang maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permuyawaratan/perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia�. Demikian pula dengan memandang suku dan kebutuhan yang beragam dalam setiap daerah, serta mengingat juga bahwa Indonesia adalah Negara kepulauan, Sehingga Negara kesatuan yang dianut oleh Indonesia haruslah memperlancar jalannya pembangunan yang merata, oleh karena itu negara kesatauan Indonesia haruslah menganut asas desentralisasi. Melalui desentralisasi, kemerataan pembangunan dapat dilaksanakan secara merata. Maka lahirlah kedudukan pemerintahan daerah di Indonesia, dimana terkait hal ini secara konstitusional ditegaskan dalam pasal 18 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Lebih lanjut mengenai Pasal 18 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 (amandemen 2000), yang menentukan : �Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu di bagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, ��. Dimana pengaturan tersebut diulang penyebutannya pada pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, yang menentukan : �Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota ��. Hubungan koordinasi kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah berupa koordinsi, pembinaan, dan pengawasan dalam bidang administrasi dan kewilayahan dapat dijumpai salah satunya pada Surat Edaran Menpan Nomor B-471/I/1991 tentang pelaksanaan putusan PTUN yang ditujukan kepada para menteri kabinet pembangunan pembangunan V, jaksa agung, Gubernur Bank Indonesia, Sekretaris Jenderal Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, para pimpinan lembaga pemerintahan non-Departemen & para Gubernur kepala daerah. Surat itu mengemukakan : ��.Dalam kenyataan Putusan Pengaadilan Tata Usaha Negara tidak terlaksana sesuai putusan. Hal ini mengundang berbagai opini di kalangan masyarakat yang menimbulkan kesan bahwa aparatur Negara sebagai pejabat tata usaha negara tidak mengindahkan dan tidak melaksanakan putusan pengadilan, bertindak sewenang-wenang sehingga kehadiran Pengadilan Tata Usaha Negara dirasakan tidak bermanfaat. Keadaan demikian tidak menguntungkan bagi upaya penegakan hukum dan upaya menciptakan aparatur negara yang bersih dan berwibawa. Berhubungan dengan itu kami mohon kiranya saudara-saudara dapat mengingatkan kepada para Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan masig-masing untuk membantu kelancaran dan keberhasilan Pengadilan Tata Usaha Negara dalam melaksanakan tugasnya yang sudah menjadi komitmen nasional. Untuk itu hendaknya Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat membantu kelancaran proses penyelesasian perkara gugatan dan melaksanakan putusan atau penetapan pengadilan dengan sebaik-baiknya. Selanjutnya apabila pejabat tata usaha negara yang bersangkutan tidak mengindahkan putusan/penetapan pengadilan, hendaknya atasan atau pejabat yang bersangkutan melakukan peneguran atau memerintahkan untuk pelaksanaannya�.� Dalam negara kesatuan Indonesia yang berlandaskan asas desentralisasi, maka kekuasaan pemerintah pusat dan pemerintahan daerah tidaklah terbagi layaknya Negara serikat. Dalam Negara kesatuan (eenheidsstaat atau�unitary) kedudukan pemerintah pusat adalah pengendali dari pemerintahan daerah. Mengenai argumentasi ini dapat dirujuk pasal 18 ayat (1) yang bila ditafsirkan secara�a contrario berdasarkan teori kewenangan (dalam hal ini delegasi), maka didapat bahwa Dalam Negara kesatuan dengan desentralisasi pemerintahan daerah hanya bagian dari pemerintah pusat berdasarkan pada pemencaran kekuasaan, bukan pembagian kekuasaan yang seperti maksud bentuk Negara serikat.[8] Begitu pula yang digambarkan oleh Astim Ryanto bahwa antara pusat dan daerah memiliki hubungan vertikal atau hierarkis, sebagai berikut :[9]




Pertalian antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah ini dapat memberikan perlindungan hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata, karena dengan kekuasaan pemerintah pusat dalam hal administrasi dan kewilayahan yang merupakan pemegang kewenangan yang sifatnya atributif dapat memerintahkan kepada kepala daerah yang tidak menjalankan putusan PTUN yang�inkracht van gewijsde agar segera melaksanakan putusan PTUN. Mengenai perlindungan hukum dalam hal ini, dapat dikutip pendapat Sjachran Basah yang menyatakan : ��administrasi negara mempunyai kewenangan dan warga memiliki hak, sedangkan sebaliknya warga serta administrasi Negara memperoleh pula kewajiban. Oleh karena itu, pada kewenangan dan hak melekat kewajiban, �� selanjutnya beliau menegaskan lebih normatif bahwa mengikuti konstruksi hukum yang sedemikian, maka secara konstitusional titik sentral kewenangan-kewajiban untuk administrasi Negara dirumuskan dalam pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, sedangkan bagi warga ditetapkan oleh pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian kedudukan antara hak seseorang dan kewenangan pejabat administrasi mempunyai kekuatan konstitusional yang sama, karena masing-masing diatur oleh Undang-Undang Dasar 1945, sehingga apabila hak seseorang��yang dikuatkan dengan putusan Pengadilan menuntut kepada pejabat administrasi (Gubernur) untuk manjalankan sesuatu kewajiban sesuai pasal 97 ayat (9) UU 9/2004, maka Pejabat TUN harus melaksanakan tuntutan tersebut sebagai kewajiban hukum. Sehingga kewajiban presiden dalam Negara hukum materiil (welfarestate) secara koordinatif adalah melakukan tindakan yang responsif dan menempatkan rakyat di atas segala-galanya untuk mencapai kesejahteraan. Namun karena kedudukan presiden dan gubernur��dalam neara kesatuan bukanlah hubungan antara atasan dan bawahan layaknya hubungan kepegawaian, maka presiden tidak dapat mengenakan sanksi apapun kepada Gubernur. Dalam keadaan��ini Presiden hanya dimungkinkan untuk memerintahkan atau melakukan pemanggilan kepada gubernur untuk dimintai keterangan terkait tindakannya yang tidak melaksanakan putusan PTUN yang telah�inkracht van gewijsde, esensi yang sedemikian rupa dianut dalam ketentuan pasal 116 ayat (6), dimana presiden selaku lembaga eksekutif negara (secara sempit - presiden adalah pelaksana undang-undang) hanya berkewajiban untuk �memerintahkan� Pejabat TUN untuk melaksanakan Putusan. Di lain sisi dalam pengertian lebih luas, presiden dapat pula melakukan tindakan yang lebih nyata, yaitu dengan melakukan pemanggilan terhadap Gubernur yang bersandar pada kewenangan diskresi (freies Ermessen).


C. Ditinjau Dari Perspektif Teori Kewenangan Dari perspektif teori kewenangan (atribusi dan delegasi) maka haruslah pula menimbulkan implikasi pada pengorganisasian administrasi baik dipusat, di daerah, maupun antara hubungan pusat dan daerah yang sifatnya hierarkis antara pemegang kewenangan atributif dan pemegang kewenangan delegatif (meskipun hanya sebatas pembinaan dan pengawasan). Argumentasi tersebut merujuk pada pendapat Indroharto yang menyatakan bahwa pada delegasi itu terjadi pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang telah memperoleh wewenang secara atributif kepada badan atau jabatan Tata Usaha Negara Lainnya. Jadi suatu delegasi selalu didahului oleh adanya suatu atribusi wewenang.[10] Dari pernyataan Indroharto itu, terimplisit sebuah beban tanggung jawab yang diemban pemilik kewenangan yang sifatnya atribusi atau asli yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 khususnya dalam hal ini DPR (pemilik kewenangan legislasi) dan Presiden (pemegang kewenangan regulasi pemerintahan) untuk melakukan pemantauan pelaksanaan wewenang yang diberkan kepada kepala daerah. Dengan demikian maka DPR dan Presiden memiliki kewenangan untuk memantau jalannya pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang dikeluarkannya baik dalam bentuk legislasi DPR atau undang-undang maupun bentuk regulasi berupa peraturan pemerintah dari presiden, karena bagaimanapun juga yang menimbulkan kewenangan bagi�delegataris (pejabat yang menerima wewenang, dalam kajian ini adalah Gubernur) adalah DPR dan Presiden. Jika terjadi penyimpangan maka badan yang paling pertama berkewajiban melakukan peneguran kepada Gubernur adalah DPR dan/atau Presiden. Akan tetapi masih timbul pertanyaan mengenai pasal 116 ayat (6) UU 51/2009 apakah yang dimaksud dewan perwakilan rakyat itu DPR RI atau DPRD, begitu juga dalam penjelasannya tidak dijelaskan mengenai hal tersebut. Mengenai pertanggung jawaban presiden di atas bukanlah seperti halnya pertanggungg jawaban oleh atasan kepada pegawai-pegawainya, karena dalam�Algemene wet Bestuursrecht (Awb) dinyatakan bahwa �het overdragen door een bestuursorgaan van zijn bevoegheid tot her nemen van besluiten aan een ander die deze onder eigen verantwoordelijkheid uitoefent�[11]�(pelimpahan wewenang oleh organ pemerintahan kepada organ lain untuk mengambil keputusan dengan tanggung jawab sendiri). Ketentuan Awb ini oleh Ridwan dianggap memiliki maksud bahwa dalam penyerahan wewenang melalui delegasi, pemberi wewenang telah lepas dari tanggung jawab hukum atau dari tuntutan pihak ketiga jika dalam penggunaan wewenang itu menimbulkan kerugian pada pihak lain. Oleh sebab itu dalam masalah ini, Presiden tidak mungkin melakukan tindakan represif melalui sanksi administratif kepada Gubernur, karena Presiden tidak dalam hubungan kepegawaian dengan Gubernur. Begitu pula Philipus M. Hadjon memberikan gambaran syarat-syarat pelimpahan wewenang secara delegasi, yang menyiratkan secara tegas batas-batas bagi Presiden untuk melakukan intervensi terhadap Gubernur, yang tidak memungkinkan Presiden menjatuhkan Sanksi Administratif maupun pencabutan wewenang yang telah diberikan kepada Gubernur, syarat-syarat itu sebagai berikut : 1.��������Delegasi harus definitif dan pemberi delegasi (delegans) tidak dapat lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu. Kecuali setelah ada pencabutan yang berpegang pada asas�contrarius actus 2.��������Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, artinya delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan untuk itu dalam peraturan perundang-undangan. 3.��������Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hierarki kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi. 4.��������Kewajiban memberikan keterangan (penjelasan), artinya delegans berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut. 5.��������Peraturan kebijaksanaan (beleidsregel), artinya Delegans memberikan instruksi (petunjuk) tentang pengunaan wewenang tersebut.[12] Dengan demikian maka pasal 116 ayat (6) UU 51/2009 memang tidak memiliki arti apapun di mata Gubernur yang memang tidak mau menjalankan Putusan PTUN, apalagi bila Individu yang memegang jabatan sebagai Gubernur dalam keadaan akhir masa jabatan, maka Gubernur bisa saja acuh pada Putusan PTUN dan tidak mau melaksanakannya, dan keacuhan tersebut tidak dapat dihentikan begitu saja dengan pasal 116 UU PTUN, karena memang tidak begitu memiliki kekuatan eksekutorial, semua ini dikembalikan kepada kesadaran Gubernur untuk mematuhi putusan PTUN.�[13]� Meskipun demikian, pencantuman pasal 116 ayat (6) tersebut memang perlu, untuk menegaskan tanggung jawab Presiden selaku pelaksana tertinggi pemerintahan Negara, yang dalam pasal 10 ayat (3) UU 32/2004 menyebutkan dalam huruf d bahwa pemerintah pusat memegang urusan Yustisi. Sejauh ini kajian dalam laporan ini, terdapat sebuah tendensi dalam pasal 116 (4), (5), dan (6) tidak mengandung norma hukum, akan tetapi justru mengandung norma kesusilaan semata, sehingga pasal ini perlu dipertanyakan apakah pantas disebut sebagai sanksi hukum TUN atau sebaliknya hanya sebuah norma basa-basi TUN. D. Upaya Lanjutan yang Dapat Ditempuh Tergugat Dalam Hal Putusan yang�Inkracht van Gewijsde, dan Ketentuan Pasal 116 (4), (5), dan (6) Tidak Dilaksanakan Oleh Kepala Daerah. Secara formal, yaitu merujuk pada Undang-undang No. 51 Tahun 2009 tentang perubahan kedua UU PTUN (selanjutnya hanya ditulis UU/51/2009), bagi tergugat yang dalam hal ini adalah Gubernur tidak mau melaksanakan putusan pengadilan tata usaha Negara yang�inkracht van gewijsde, khususnya mengenai putusan yang amarnya menyangkut pasal 97 ayat (9) huruf b dan c UU/5/1986, yaitu yang memerintahkan kepada badan atau pajabat tata usaha negara untuk mencabut KTUN yang disengketakan dan menerbitkan KTUN baru��atau menerbitkan KTUN yang memberi hak pada pengguat, maka ketentuan yang dapat digunakan sebagai landasan bagi penggugat untuk memohon kepada ketua pengadilan adalah pasal 116 ayat (4), (5), dan (6) UU/51/2009. Kriteria untuk memberlakukan pasal 116 ayat (4), (5), dan (6) UU/51/2009 adalah harus terlebih dahulu memenuhi maksud dari ketentuan pasal 116 ayat (3)-nya, yang menetapkan jangka waktu kapan suatu putusan PTUN itu dianggap tidak dilaksanakan. Dalam��ayat (3) UU/51/2009 tersebut ditentukan tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari kerja setelah putusan PTUN tersebut dinyatakan telah memiliki kekuatan hukum mengikat (kracht van gewijsde) namun putusan belum dilaksanakan, maka badan atau pejabat tata usaha Negara sudah dapat dinyatakan memenuhi maksud dari ketentuan pasal 116 ayat (3) UU/51/2009. Berdasarkan keadaan tersebut, pihak penggugat sudah dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara/ Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang mengadilinya dalam tingkat pertama agar memerintahkan kepada tergugat untuk melaksanakan kewajiban untuk menerbitkan��Keputusan Tata Usaha yang dimaksud dalam amar putusan. Menurut Paulus Effendi Lotulung,[14] perintah dari Ketua Pengadilan tersebut berupa surat perintah yang dituangkan dalam bentuk penetapan. Jika Ketua Pengadilan telah memerintahkan kepada tergugat dan tergugat tetap tidak mau melaksanakan kewajibannya untuk menerbitkan keputusan Tata Usaha Negara, maka terhadap yang bersangkutan dapat dikenakan upaya paksa berupa pembayaran upaya paksa dan/atau sanksi administratif. Namun dalam permasalahan lebih lanjut mengenai pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha ini mendapat batu ganjalan lagi apabila uang paksa dan sanksi administratif juga tidak mau diindahkan oleh badan atau pejabat tata usaha Negara. Mengenai permasalahan ini menurut Yohanes Usfunan akan mengakibatkan suatu putusan pengadilan tata usaha Negara itu mengambang (floating execution)�.[15]�Maka dalam perkembangan yurisprudensi, tindankan pemerintah sepertu keadaan ini dapat disebut sebagai tindakan melawan hukum penguasa atau�onrechtmatige overheidsdaad (disingkat OOD). Pada awalnya tidak ada peraturan yang mengatur mengenai permasalahan ini, dan masih dalam perdebatan mengenai kepada siapa pembebanan uang paksa atau ganti rugi akan dibebankan jika dilakukan gugatan tentang OOD. Apakah jabatannya atau individu pejabat. Setelah ditelusuri, ternyata Putusan MA No.66K/SIP/1952 dalam perkara KASUM, telah berusaha memformulasikan mengenai perbuatan melanggar hukum penguasa, yang dalam putusannya menyatakan bahwa suatu tindakan yang bisa disebut OOD��apabila ada perbuatan sewenang-wenang (willkeur) dari pemerintah atau merupakan tindakan yang tiada anasir kepentingan umum. Namun pertimbangan ini masih sifatnya bias dan terlalu luas, karena menurut MA, apabila adanya unsur kepentingan umum dalam tindakan pemerintah maka dinyatakan bukan perbuatan melanggar hukum oleh penguasa. Baru pada tahun 1972, yaitu pada Putusan MA No.838/SIP/1972 dalam perkara Josopandjoyo, ditegaskan lebih jelas tentang criteria�rechtmatighed seperti yang ditegaskan pada tinjauan pustaka dalam laporan ini, yang secara sifatnya adalah merupakan lawan dari�onrechtmatigheid overheidsdaad, sehingga dalam poin tersebut dapat disimpulkan bahwa kriteria OOD adalah : 1.������Perbuatan melanggar hukum oleh penguasa harus di ukur dengan undang-undang dan peraturan formil yang berlaku. 2.������Harus diukur kepatutan dalam masyarakat dan karenanya harus dipatuhi oleh penguasa. 3.������Penilaian tentang faktor sosial (dari penyewa dan pemilik) adalah wewenang kepala daerah sebagai penguasa yang bukan termasuk kompetensi pengadilan untuk menilainya, kecuali kalau wewenang itu dilakukan dengan malanggar undang-undang dan peraturan formal atau melampaui batas kepatutan dalam masyarakat yan harus diperhatikan oleh penguasa. Dengan adanya putusan MA No.838/SIP/1972 dalam perkara Josopandjoyo tersebut akhirnya MA mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia tertanggal 25 februari 1977 Nomor MA/Pemb/0159/77 yang menyerukan kepada ketua Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan Tinggi Negeri se-Indonesia yang isinya antara lain : Dalam mengadili perkara di mana pemerintah digugat karena melakukan perbuatan melanggar hukum hendaknya megadakan keseimbangan antara perlindungan terhadap seseorang (individu) dan terhadap kepentingan persekutuan penguasa. Dengan demikian perlindungan hukum jelas disini, dimana kedudukan seseorang dalam persengketaan KTUN yang dalam hal ini melawan Badan/Pejabat Tata Usaha Negara adalah sama dimata Pengadilan Tata Usaha Negara, hal ini akhirnya diadopsi dalam UU PTUN yang memasukkan asas hakim aktif dalam proses beracaranya, Namun kendala asas hakim aktif tersebut hanya berlaku dalam proses beracara, tidak dalam hal eksekusi putusan pengadilan. Sehingga setiap tindakan yang harus dilakukan oleh penggugat��adalah tindakan yang atas dasar pelaporan kepada ketua pengadilan dalam upaya klaim hak sesuai amar putusan, sedangkan biaya yang dikeluarkan dalam upaya ini ditanggung oleh penggugat sendiri terkecuali bagi acara yang ditetapkan oleh Ketua PTUN sebagai perkara prodeo. Selama ini pelanggaran yang dilakukan oleh Pejabat TUN adalah mengenai biaya pembayaran perkara saja, yakni apabila tergugat dalam hal ini Pejabat TUN diputus kalah oleh ketua majelis hakim (pasal 110 UU 5/1986), seharusnya pihak tergugat yang membayar uang perkara dan keseluruhan biaya yang ada atau tersisa, akan tetapi sebaliknya yang membayar pada kenyataannya adalah pengugat sendiri. Sedangkan untuk pelanggaran putusan dengan tidak melaksanakannya selama ini belum ada, karena sebagian besar perkaran yang masuk adalah 85%-nya terkait hal ihwal pertanahan.[36] Dengan demikian telah terjadi budaya hukum yang membuat asas kepastian hukum itu berjalan, dan hanya asas yang tidak berarti khususnya terkait pasal 110 UU 5/1986. Namun menurut�Pulung� Hudo Prakoso[16], dalam konteks nasional pelanggaran putusan TUN sangat marak terutama di wilayah-wilayah yang masih terbelakang, baik dalam hal ekonomi maupun pemahaman hukum, hal ini karena kekuatan eksekutorial putusan TUN hanyalah sebatas memutus dan menjalankan peraturan perundang-undangan dan mencarikan keadilan bagi�justiciabelen dan pemerintah sebagai jalan keluar persengketaan terkait KTUN yang dikeluarkan pemerintah, sehingga pelaksanaan putusan pada dasarnya dikembalikan kepada kesadaran Pejabat / Tata Usaha itu sendiri dan keaktifan pejabat atasannya dalam penegakan hukum putusan pengadilan. Dari pernyataan tersebut, agar penggugat mendapatkan pelaksanaan putusan yang dilanggar oleh Pejabat TUN dan dalam hal untuk mendapatkan ganti rugi dan/atau kompensasi atas dilanggarnya putusan PTUN tersebut maka tindakan Pejabat TUN yang melanggar putusan TUN tersebut bisa dikaitkan pada pasal 1365 KUHPerdata. Untuk menghadapi perbuatan melanggar hukum penguasa dalam hal ini Kepala Daerah (Gubernur), maka jalan yang paling mungkin untuk ditempuh dalam menguatkan putusan PTUN tersebut adalah dengan mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri. Hal ini dapat dilakukan sesuai dengan perluasan makna pasal 1365 KUHPerdata, yang dikembangkan melalui yurisprudensi Counsil de�etat Perancis yang memberikan garis ketegasan untuk�membedakan�antara�kesalahan dinas (Faute de serve) dan kesalahan pribadi (Faute de personelle). Melalui pengembangan yurisprudensi�Counsil d�Etat tersebut, sehingga kualifikasi bagi�pejabat TUN�yang�tidak patuh�dalam�melaksanakan putusan PTUN,�dinyatakan�tidak sedang melaksanakan peran Negara�yang diberikan wewenang oleh jabatan, akan tetapi cenderung mengarah pada tindakan yang bersifat pribadi.�Dengan demikian�pertanggung jawabannya dibebankan secara pribadi kepada pejabat TUN yang bersangkutan. Dengan pembebanan kepada individu pejabat TUN tersebut sehingga konskuensinya adalah Pejabat TUN tidak lagi bisa menggunakan alasan bahwa perbuatannya adalahrechtmatigheid sesuai pemberlakuan yurisprudensi�Counsil d�Etat di Indonesia, terkecuali bagi tindakan pemerintah yang tidak menjalankan putusan pengadilan didasarkan pada alasan yang membenarkan keadaan pejabat TUN tersebut (dispensasi), misalnya dalam suatu Putusan TUN yang amarnya menentukan untuk mencabut Surat Keputusan yang membuat kedudukan si A dalam hal kepegawaian��yang pada awalnya sebagai kepala bagian, lalu berdasarkan SK yang dikeluarkan tergugat mengakibatkan turun jabatan menjadi staf administrasi, dan pada waktu bersamaan telah diangkat si C sebagai pengganti si A, maka apabila tergugat melaksanakan putusan PTUN maka ini akan tidak adil bagi si C, dan hal itu dapat dijadikan alasan bagi pejabat TUN untuk tidak melaksanakan Putusan, dengan catatan pejabat TUN melaporkannya kepada Ketua Pengadilan Negeri, dan penggugat dapat menuntut biaya kompensasi.
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Melalui penjabaran yang telah dilakukan dalam bab pembahasan maka terdapat kesimpulan sebagai berikut : 1.��������Bahwa presiden memiliki kewenangan untuk melakukan koordinasi, pembinaan dan pengawasan, berdasarkan apa yang diatur dalam Undang-undang Otonomi Daerah dalam hal pemerintah daerah tidak mau melaksanakan putusan pengadilan tata usaha Negara, dan presiden memiliki kewajiban untuk melakukan peneguran kepala daerah untuk memberikan perlindungan hukum kepada penggugat yang adalah orang atau badan hukum perdata yang kedudukannya lebih lemah bila dibandingkan kepala daerah. Namun Presiden tetap tidak dapat memberikan tindakan represif berupa sanksi kepada Gubernur, sehingga tidak memberikan efek jera kepada Gubernur. 2.��������Dalam hal eksekusi putusan PTUN, apabila tidak dilaksanakan oleh pejabat TUN, maka dapat mengenakan pasal 116 ayat (4), (5), (6), setelah memenuhi jangka waktu yang ditentukan oleh pasal 116 ayat (3), apabila masih tidak dilaksanakan oleh pejabat TUN dalam hal ini kepala daerah, maka dapat mengajukannya ke peradilan umum, dengan dasar hukum pasal 1365 KUHPerdata, dengan gugatan ganti rugi.

B. Saran Adapun saran yang dapat disampaikan dari hasil uraian permasalahan dalam laporan ini adalah : 1.��������Pertama, Untuk penggugat dalam berperkara di pengadilan Tata Usaha Negara, agar dalam petitum Gugatannya mencantumkan permintaan upaya paksa untuk mengantisipasi putusan tidak dilaksanakan oleh tergugat. 2.��������Saran kedua, agar pembentuk peraturan perundang-undangan segera menyempurnakan pasal-pasal UU PTUN khususnya terkait masalah eksekusi putusan, dan memasukkan permasalahan OOD secara tegas sebagai hukum positif, sehingga kemudian hari apabila ada pejabat TUN (Gubernur) yang tidak menjalankan putusan PTUN agar bisa dilakukan penggugatan atau bahkan penuntutan berdasarkan hukum pidana untuk mendapatkan saksi secara individu bukan sebagai pemegang kewenangan atas jabatan, dengan demikian sifat eksekusi akan lebih bersifat memaksa, dan dapat menimbulkan efek jera. 3.��������Saran Ketiga, agar Eksekutif dalam hal ini Gubernur tidak diberikan wewenang untuk mengeluarkan Keputusan yang sifatnya Konkrit Individual dan Final terkecuali mengenai keadaan darurat tertentu, agar mengurangi pengaruh politis pada sebuah keputusan.




Daftar Pustaka
Buku � Buku Asminah, Dewi,�Pedoman Penghitungan Tenggang Waktu suatu Keputusan yang Berkekuatan Hukum Tetap dikaitkan dengan eksekusi, Makalah pada��Pelatihan Teknis Fungsional Peningkatan Profesionalisme bagi hakim Pengadilan Tata Usaha Negara dan Hakim Peradilan Militer se-Indonesia, tt, hlm.2.
Hadjon, Philipus. M, 2008,�Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to Indonesian Administrative Law), Cetakan Kesepuluh,Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Indroharto, 1993,�Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku II, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Logemann, J.H.A., 1954,�Over��de Theorie van een Stellig Staatrecht, Penerbit : Saksama, Jakarta
Mahkamah Agung RI,�Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Tata Usaha Negara, Buku II, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2009.
Ridwan, H. R, 2008,�Hukum Administrasi Negara, Edisi 4, Rajawali Press, Jakarta.
Riyanto, Astim, 2006,�Negara Kesatuan (Konsepsi, Asas, dan Aktualisasinya), Cetakan I, Yapemdo, Bandung.
Soetami, A. Siti, 2007,�Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Cetakan Kelima, Refika Aditama, Bandung.
Stroink,�F.A.M dan J.G. Steenbeek, 1985,�Inleiding in het Staats-en Administratief Recht, Alphen aan den Rijn: Samsom H.D. Tjeenk Willink.
Subawa, I Made, dkk, 2005,�Hukum Tata Negara Pasca Perubahan UUD 1945, Penerbit : Wawasan, Denpasar.
Wiyono, R, 2008,�Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta.



Peraturan Perundang-Undangan
?���������Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
?���������Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
?���������Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
?���������Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
?���������Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 Tentang perubahan pertama Undang-Undang No. 5 Tahun 1986��Peradilan Tata Usaha Negara.
?���������Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 Tentang perubahan pertama Undang-Undang No. 5 Tahun 1986��Peradilan Tata Usaha Negara.



[1] Indroharto dalam Dewi Asminah, tt,SH, Pedoman Penghitungan Tenggang Waktu suatu Keputusan yang Berkekuatan Hukum Tetap dikaitkan dengan eksekusi, Makalah pada�Pelatihan Teknis Fungsional Peningkatan Profesionalisme bagi hakim Pengadilan Tata Usaha Negara dan Hakim Peradilan Militer se-Indonesia, hlm.2. [2] Vide pasal 115 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
[3] Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku II, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm 243-244 [4] Untuk lebih rinci lihat dalam, Buku II Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Tata Usaha Negara, dikeluarkan oleh Mahkamah Agung RI berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : KMA/032/SK/IV/2006 tentang Pemberlakuan Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, Edisi 2009, hlm. 68-70.
[5] Bandingkan dengan apa yang ditegaskan oleh Philipus M. Hadjon dalam, B. Arief Sidharta, dkk, 1996, Butir-Butir Gagasan Tentang Penyelenggaraan Hukum dan Pemerintahan yang Layak, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm 337 [6] keberadaan pasal 116 ayat (4), (5), dan (6)��UU 51/2009 cenderung bersifat norma kesusilaan, karena tidak ditemukan unsur norma hukum didalamnya, kecuali dari segi bentuk formal pembentukan UU 51 tahun 2009 saja, yang dibentuk oleh legislatif [7] Riyanto, Astim, 2006, Negara Kesatuan Konsep, Asas, dan Aktualisasinya, YAPEMDO, Bandung, hlm.139 [8] M. Solly Lubis, 1991, Asas-asas Hukum Tata Negara, cetakan kedua, PT Alumni, Bandung, hlm. 149 [9] Astim Ryanto, Op.cit, hlm 318 [10] Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 91 [11] Afdeling I A. 1.2�Algemene Wet Bestuursrecht 1992 [12] Philipus M Hadjon Dalam Ridwan HR, 2008, Hukum Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 107-108 [13] Hasil wawancara pada hari selasa, tanggal 29 Desember 2009, di ruangan Bagian Umum dengan Pulung� Hudo Prakoso, Hakim di PTUN Denpasar [14] Lihat Paulus. E Lotulung, dalam R. Wiyono, 2008, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 235 [15] Johanes Usfunan, 2002, Perbuatan Pemerintah yang dapat Digugat, Penerbit : Djambatan, Jakarta, hlm. 84 [16] Hasil wawancara pada hari selasa, tanggal 29 Desember 2009, di ruangan Bagian Umum dengan Pulung� Hudo Prakoso, Seorang Calon Hakim di PTUN Denpasar

KAJIAN TERHADAP KEWENANGAN PTUN DALAM MENERAPKAN UPAYA PAKSA TERHADAP PUTUSAN INKRACHT

Written by Administrator
Category:

Menarik karena persoalan yang dibahas di lingkungan peradilan, termasuk saat Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung. Silakan baca artikel MA Tak Bisa Intervensi Eksekusi Putusan. Masalah ini juga sering dikaitkan dengan efektivitas Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dalam proses penegakan hukum, seperti tertuang dalam artikel PTUN Belum Efektif Tegakkan Negara Hukum.

Ketua Muda MA Bidang Tata Usaha Negara,Prof. Paulus Effendi Lotulung, pernah menuangkan jawaban atas persoalan ini dalam tulisannya Eksekusi Putusan Peradilan Tata Usaha Negara dan Problematikanya dalam Praktek,dimuat buku Kapita Selekta Hukum Mengenang Almarhum Prof. H. Oemar Seno Adji (Ghalia Indonesia, 1995).

Pada dasarnya hanya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang dapat dilaksanakan. Namun, tak semua pihak yang dikalahkan bersedia secara sukarela menjalankan putusan hakim. Dalam perkara pidana dan perdata, aparat penegak hukum yang akan melaksanakan eksekusi putusan bisa meminta bantuan aparat keamanan.

Beda halnya dengan eksekusi putusan PTUN.Rozali Abdullah (2005: 98) tegas menyatakan dalam eksekusi putusan PTUN tidak dimungkinkan upaya paksa dengan menggunakan aparat keamanan. Istimewanya, Presiden selaku kepala pemerintahan dimungkinkan campur tangan dalam pelaksanaan putusan PTUN.

Putusan PTUN yang telah berkekuatan hukum tetap, sejalan dengan Pasal 97 ayat (8) dan�ayat (9) UU PTUN, pada dasarnya dapat berupa:

a.��Batal atau tidak sah Keputusan Tata Usaha Negara ("KTUN") yang menimbulkan sengketa dan menetapkan Badan/Pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan untuk mencabut KTUN dimaksud. Paulus Effendi Lotulung menyebutnya sebagai eksekusi otomatis. Jika putusan TUN tidak dipatuhi maka KTUN tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum lagi, tidak perlu lagi ada tindakan atau upaya lain dari pengadilan seperti surat peringatan (R. Wiyono, 2009: 234).

b.� �Pelaksanaan putusan pengadilan yang dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b, yang mewajibkan pejabat TUN bukan hanya mencabut tetapi juga menerbitkan KTUN baru.

c.���Selain itu, ada juga putusan yang mengharuskan pejabat TUN menerbitkan KTUN sebagaimana dimaksud Pasal 3 UU PTUN. Pasal 3 mengatur tentang keputusan fiktif negatif.

Pembentuk Undang-Undang mengharapkan Badan/Pejabat TUN melaksanakan putusan secara sukarela. Namun, keberhasilan pelaksanaan putusan itu sangat bergantung pada wibawa pengadilan dan kesadaran hukum para pejabat (Rozali Abdullah, 2005: 99).

Kalau putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap tidak dijalankan juga, maka UU PTUN menyediakan mekanisme berupa sanksi administratif dari atasan Badan/Pejabat TUN bersangkutan. Lewat ancaman sanksi itu, atasan pejabat yang mengeluarkan KTUN pada dasarnya sedang melakukan upaya paksa.

Mekanisme lain yang disebut dalam UU PTUN adalah pengenaan uang paksa dan pengumuman lewat media massa.�Pasal 116 ayat (5) UU PTUNmenyatakan pejabat yang tidak melaksanakan putusan Pengadilan diumumkan pada media massa cetak setempat oleh panitera sejak tidak terpenuhinya batas waktu 90 hari kerja. Begitu batas waktu lewat, penggugat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan agar tergugat melaksanakan putusan.�Pasal 116 ayat (6) UU PTUN menegaskan lebih lanjut, ketua pengadilan mengajukan ketidakpatuhan ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi dan kepada DPR untuk menjalankan fungsi pengawasan. Dari rumusan ini jelas bahwa�Presiden punya kewenangan memaksa pejabat TUN untuk melaksanakan putusan.

Sedangkan, mekanisme�uang paksa yang disebut dalam�Pasal 116 ayat (4) UU PTUN, hingga kini regulasinya belum jelas.�Penjelasan Pasal 116 ayat (4) UU PTUN hanya menyebutkan pembebanan berupa pembayaran sejumlah uang dicantumkan dalam amar putusan pada saat hakim memutuskan mengabulkan gugatan penggugat. Setidaknya, masih menjadi pertanyaan apakah uang paksa itu digabung bersama gugatan ke PTUN atau terpisah, siapa yang harus membayar (pribadi pejabat TUN atau dari anggaran badan), dan berapa besar uang paksa atau�dwangsom yang dimungkinkan. Ini�masalah krusial yang sering ditanyakan dan tampaknya perlu segera diatasi (Mahkamah Agung, 2007: 9).

Meskipun demikian, sebenarnya sanksi administratif, pengenaan uang paksa dan pengumuman di media massa tak perlu terjadi jika Badan/Pejabat TUN menjalankan putusan secara sukarela.

Dasar Hukum:

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986�tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang telah beberapa kali diubah, yakni melalui�Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, dan terakhir dengan�Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009.

Referensi:

Mahkamah Agung.�Permasalahan dari Daerah dan Jawabannya Bidang Tata Usaha Negara. Bahan pada Rakernas Mahkamah Agung dan Jajaran Pengadilan Empat Lingkungan Peradilan Seluruh Indonesia di Makassar, 2007.

R. Wiyono.�Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Cetakan kedua. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Rozali Abdullah.�Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: RajaGrafndo Persada, 2005.

Ditulis Oleh : Muhammad Yasin

Sebagaimana dikutip asli dari : Hukumonline

Eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Menguji Keputusan KPU

Written by Administrator
Category:

I. Pendahuluan

Artikel ini hendak membahas secara sederhana bagaimana penyelesaian sengketa tata usaha negara di bidang Pemilu berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Selain itu penulis juga akan mengkaitkan dengan Undang Pemilu Nomor 12 tahun 2003 dan Undang Undang Nomor 10 tahun 2008 dan  hukum acara peradilan tata usaha Negara berdasarkan Undang-undang Nomor 5 tahun 1986 yang dirubah dengan undang-undang nomor 9 tahun 2004.

 

II. Jenis Pelanggaran  Hukum Pemilu dari masa ke masa

Undang undang nomor 8 tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, memuat enam macam pelanggaran  hukum berkaitan dengan Pemilu.

Keenam pelanggaran hukum tersebut antara lain; 1). Pelanggaran Kode etik Penyelenggara Pemilu yaitu pelanggaran terhadap etika penyelenggara Pemilu yang berpedomankan sumpah dan atau janji sebelum menjalankan tugas sebagai penyelenggara pemilu, 2). Pelanggaran Administrasi Pemilu yaitu pelanggaran yang meliputi tata cara, prosedur dan mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan Pemilu dalam setiap tahapan diluar tindak pidana Pemilu dan pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu, 3). Sengketa Pemilu, yang dimaksud sengketa adalah sengketa yang terjadi antarpeserta Pemilu dan sengketa peserta Pemilu dengan Penyelenggara Pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/kota .4). Tindak pidana Pemilu yaitu tindak pidana pelanggaran dan/atau kejahatan terhadap ketentuan tindak pidana Pemilu, 5). Sengketa tata usaha negara Pemilu adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara Pemilu antara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, atau partai politik calon Peserta Pemilu dengan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota dan terakhir  keenam, Perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara KPU dan Peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional.

Undang-undang Nomor 8 tahun 2012 merupakan undang-undang Pemilu yang pertama memuat tentang sengketa tata usaha Pemilu. Disamping itu UU Nomor 8 tahun 2012 juga paling banyak memuat pelanggaran Pemilu.  Sementara undang undang Pemilu sebelumnya, seperti UU Nomor 12 tahun 2003 dan UU nomor 10 tahun 2008 sama sekali tidak memuat tentang sengketa tata usaha Pemilu.

Undang undang Nomor 12 tahun 2003 memuat empat  jenis masalah hukum Pemilu, yaitu sengketa pemilu, Tindak pidana Pemilu  pelanggaran administrasi serta perselisihan hasil Pemilu. Namun undang-undang  nomor 12 tahun 2003 tidak menjelaskan definisi masing masing jenis pelanggaran hukum Pemilu, terutama berkaitan dengan sengketa Pemilu dan pelanggaran administrasi.  Sementara undang-undang Nomor 10 tahun 2008 tidak memuat sengketa Pemilu sebagai sebagai pelanggaran hukum Pemilu, undang-undang ini hanya memuat Pelanggaran administrasi, tindak pidana Pemilu dan perselisihan hasil Pemilu.

Dari ketiga undang-undang Pemilu di atas Undang undang nomor 8 tahun 2012 lebih banyak memuat jenis pelanggaran hukum Pemilu dan menjelaskan dengan rinci definisi masing-masing pelanggaran hukum Pemilu. Menurut penulis hal itu wajar karena Indonesia sudah memiliki pengalaman maraknya pelanggaran Pemilu yang tidak bisa ditampung dengan ketentuan yang ada dalam undang-undang. Maka hal itu dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas Pemilu dari masa ke masa.

 

III. Sengketa Tata Usaha Negara Pemilu

Sebagaimana dicantumkan dalam pasal 268 ayat  (1)  bahwa sengketa tata usaha negara Pemilu adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara Pemilu antara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, atau partai politik calon Peserta Pemilu dengan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota.

Definsi sengketa tata usaha Negara diatas tidak jauh berbeda dengan definisi sengketa Pemilu, sebagaimana dicantumkan dalam pasal 257 menyatakan, sengketa Pemilu, yang dimaksud sengketa adalah sengketa yang terjadi antarpeserta Pemilu dan sengketa peserta Pemilu dengan Penyelenggara Pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/kota.

Dari definisi diatas baik sengketa tata usaha Negara Pemilu maupun sengketa Pemilu, objek sengketanya sama-sama Keputusan yang dikeluarkan oleh penyelenggara Pemilu sebagai badan tata usaha Negara.  Jika demikian apakah seluruh sengketa yang muncul akibat dikeluarkan keputusan Penyelenggara Pemilu adalah sengketa tata usaha Negara ? Menurut Penulis, sengketa Pemilu adalah seluruh sengketa yang muncul akibat dikeluarkannya keputusan KPU, sedangkan sengketa tata usaha Negara oleh undang-undang Pemilu dibatasi khusus yaitu keputusan KPU yang berkaitan dengan penetapan partai politik yang lulus atau tidak sebagai peserta Pemilu dan penetapan lulus atau tidaknya calon anggota DPR, DPD dan DPRD provinsi dan DPRD Kabupaten/kota.  Di luar kedua hal itu merupakan sengketa Pemilu.

Selain itu, para pihak yang terlibat dalam sengketa juga berbeda antara sengketa Pemilu dengan sengketa tata usaha Negara Pemilu, jika sengketa Pemilu para pihaknya adalah Partai politik dengan penyelenggara Pemilu, atau calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/kota dengan penyelenggara Pemilu. Sedangkan sengketa Pemilu para pihaknya, bisa antarpeserta Pemilu atau peserta Pemilu dengan penyelenggara Pemilu. Dengan demikian, semua sengketa tata usaha Pemilu adalah sengketa Pemilu, namun tidak semua sengketa Pemilu dapat dikatakan sengketa tata usaha negara. Sengketa Pemilu yang bukan termasuk sengketa tata usaha Negara Pemilu adalah sengketa Pemilu yang terjadi antarpeserta Pemilu.

Alasannya, menurut Undang-undang Nomor 5 tahun 1986  yang dimaksud dengan Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.Undang undang ini membatasi para pihak yang terlibat dalam sengketa tata usaha Negara adalah pejabat atau badan tata usaha Negara dengan warga Negara.

Selain itu pembatasan tentang jenis keputusan penyelenggara Pemilu yang dapat disengketakan di peradilan tata usaha Negara hanya keputusan tentang berkaitan pemnetapan peserta Pemilu dan penetapan bakal calon  yang lulus sebagai calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota, bertentangan dengan UU Nomor 5 tahun 1986 yang dirubah dengan Undang-undang nomor 9 tahun 2004, karena undang-undang tersebut hanya membatasi yang tidak termasuk keputusan tata usaha Negara hanya keputusan panitia Pemilu berkaitan dengan hasil Pemilu.

Lantas, apa yang menjadi batasan keputusan Penyelenggara Pemilu tentang hasil Pemilu. Yang dimaksud dengan keputusan tentang hasil Pemilu adalah keputusan yang dikeluarkan oleh penyelenggara Pemilu setelah hari pemungutan dan penghitungan suara.  Jadi, pembatasan sengketa tata usaha hanya berkaitan dengan petepan peserta Pemilu dan calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/kota bertentangan dengan UU nomor 5 tahun 1986 yang dirubah dengan UU Nomor 9 tahun 2004.

IV. Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara Pemilu

Penyelesaiana sengketa tata usaha Negara Pemilu dilakukan dengan cara. Pertama, penyelesaian melalui saluran penyelesaian sengketa Pemilu oleh Bawaslu. Bawaslu melakukan penyelesaian sengketa Pemilu melalui tahapan:. menerima dan mengkaji laporan atau temuan; dan  kemudian mempertemukan pihak-pihak yang bersengketa untuk mencapai kesepakatan melalui musyawarah dan mufakat.  Apabila pada pertemuan tersebut tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah, Bawaslu  memberikan alternative penyelesaian. Dalam hal alternative yang ditawarkan Bawaslu tidak dapat diterima oleh para pihak yang bersengketa, penyelesaian dilanjutkan dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN).

Kedua,  gugatan sengketa tata usaha Negara Pemilu diajukan kepada PTUN paling lambat tiga hari setelah putusan dikeluarkan oleh Bawaslu.  Dalam hal gugatan diajukan kurang lengkap, penggugat dapat memperbaiki dan melengkapi gugatan paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak diterimanya gugatan oleh pengadilan tinggi tata usaha negara.  Apabila dalam jangka waktu tiga hari penggugat belum menyempurnakan gugatan, hakim memberikan putusan bahwa gugatan tidak dapat diterima, terhadap putusan tersebut tidak dapat dilakukan upaya hukum.

Pengadilan tinggi tata usaha negara memeriksa dan memutus gugatan paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak gugatan dinyatakan lengkap. Terhadap putusan pengadilan tinggi tata usaha negara hanya dapat dilakukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia. Permohonan kasasi paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan pengadilan tinggi tata usaha negara dikeluarkan. Mahkamah Agung Republik Indonesia wajib memberikan putusan atas permohonan kasasi paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan kasasi diterima. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia  bersifat terakhir dan mengikat serta tidak dapat dilakukan upaya hukum lain. Terhadap putusan yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap KPU wajib menindaklanjuti putusan pengadilan tinggi tata usaha negara atau putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia paling lama 7 (tujuh) hari kerja.

V. Kesimpulan

Undang-undang Nomor: 8 tahun 2012, semakin memperteguhkan eksistensi Peradilan tata usaha Negara, sebagai salah satu badan peradilan, bagi pencari keadilan khususnya di bidang tata usaha Negara. Bahkan tidak hanya meningkatkan keberadaan PTUN sebagai penguji keputusan pejabat dan badan tata usaha tetapi juga merupakan terobosan yang menerapkan upaya paksa mutlak kepada pejabat atau badan tgata usaha Negara melaksanakan putusan dalam jangka waktu tujuh hari.  Hal ini belum penah ada dmuat dalam undang-undang lain, tentu saja kita berharap terobosan ini juga dapat dilakukan oleh undang-undang lain sehingga eksistensi peradilan TUN dalam menguji keputusan tata usaha Negara benar-benar dirasakan manfaatnya dalam menegakan pemerintahan yang baik dan bersih.*

 

Oleh: Rinaldi, S.Pd. MSi

Angota KPU Kab Pesisir Selatan