BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Indroharto pernah mengatakan bahwa �...kalau pihak-pihak atau lain-lain Badan atau Jabatan TUN diberikan wewenang untuk menyingkirkan suatu Putusan Pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap, maka��hal itu praktis akan dapat membahayakan kelangsungan hidup negara hukum kita�.[1] Pernyataan kekhawatiran Indroharto tersebut sangat jelas menegaskan bahwa betapa urgennya pelaksanaan suatu Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dalam konteks kehidupan bernegara yang berlandaskan padaRechtstaat. Konsekuensi logis dari maksud urgensitas putusan Pengadilan Tata Usaha Negara�dalam tataran ideal�the rule of law adalah keberadaannya tidak dapat diganggu gugat lagi. Oleh karena itu pelaksanaannya harus di taati oleh siapapun juga termasuk pemerintah. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang dimaksud dalam hal ini adalah putusan pengadilan Tata Usaha Negara yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Karena hanya putusan Pengadilan yang�inkracht van gewijsde yang dapat dilaksanakan.[2] Terlepas dari keadaan ideal tersebut di atas, dalam kenyataannya mengenai eksekusi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara ini, kita akan keliru apabila berpendapat bahwa pengertian eksekusi diartikan sebagai eksekusi riil, seperti halnya eksekusi putusan perkara perdata yang dapat dipaksakan melalui bantuan pihak luar (ekstern) Pemerintah. Dalam putusan perkara TUN tidak mungkin Pemerintah selaku pihak tergugat dipaksa dengan upaya paksa oleh sebuah badan ekstern dalam proses eksekusi putusan TUN. Mengenai kemustahilan ini bukanlah�tanpa dasar.��F.A.M Stroink dan J.G. Steenbeek memberikan gambaran�pembenaran�terkait hal tersebut�dalam pernyataannya, �De overheidsbevoegdheden (rechten en plichten) zijn verbonden aan het ambt. Indien bij voorbeeld een burgemeester een bepaalde beschikking afgeeft, wordt rechtens die beschikking afgegeven door het ambt burgemeester, en niet door de natuurlijke person die op dat moment dat ambt bekleedt, de ambtsrager��(kewenangan pemerintahan {hak-hak dan kewajiban} itu melekat pada jabatan. Jika bupati/walikota memberikan keputusan tertentu,�yang�berdasarkan hukum, maka�keputusan itu�adalah�diberikan oleh jabatan Bupati/Walikota, dan bukan oleh individu/orang yang pada saat diberi jabatan, yakni�Bupati/Walikota).�Sehingga ada benarnya pendapat Indroharto yang menyatakan, bahwa tidak mungkin terhadap pemerintah itu diterapkan tindakan upaya paksa (misal : dengan bantuan jurusita) agar secara pribadi melakukan suatu prestasi yang telah diputuskan dalam suatu putusan pengadilan.[3] Dengan�paradigma hukum�yang�sedemikian, membuka kemungkinan yang sangat besar bagi timbulnya arogansi dari pejabat pengemban jabatan dalam melaksanakan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah�inkracht van gewijsde, karena memang tidak adanya kekuatan eksekutorial dalam UU No. 5 Tahun 1986. Sehingga Prinsip peradilan TUN untuk menempatkan kontrol yudisial dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik menjadi bias dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Karena�tidak adanya kekuatan eksekutorial,�sehingga pelaksanaan putusan PTUN tergantung dari kesadaran dan inisiatif dari Pejabat TUN. Setelah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN diadakan perubahan dan penambahan materi muatan melalui Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 dan perubahannya yang terbaru yaitu UU No. 51 Tahun 2009, khususnya mengenai dianutnyateori kesalahan�dalam pasal 116 ayat (4),�yang�merupakan pengembangan dariYurisprudensi�Counsil d�Etat, yang memberikan garis ketegasan untuk�membedakan�antarakesalahan dinas (Faute de serve) dan kesalahan pribadi (Faute de personelle). Melalui pengembangan yurisprudensi tersebut, sehingga kualifikasi bagi�pejabat TUN�yang�tidak patuh�dalam�melaksanakan putusan PTUN,�dinyatakan�tidak sedang melaksanakan peran Negara�yang diberikan wewenang oleh jabatan, akan tetapi cenderung mengarah pada tindakan yang bersifat pribadi.�Dengan demikian�pertanggung jawabannya dibebankan secara pribadi kepada pejabat TUN yang bersangkutan. Berdasarkan�Yurisprudensi�Counsil d�Etat itulah pasal 116 ayat (4) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 mendapatkan dasar argumentatifnya untuk memberikan kewenangan bagi hakim mencantumkan pengenaan �uang paksa���dalam putusan yang amarnya berisi materi yang sesuai dengan maksud pasal 97 ayat (9) huruf b dan c, yakni dalam hal mencabut dan menerbitkan KTUN atau menerbitkan KTUN yang memberi hak. Meskipun ketegasan putusan PTUN dengan mencantumkan pengenaan �uang paksa� dalam upaya mengantisipasi maupun menindak pejabat TUN yang tidak mau melaksanakan amar putusan PTUN��yang�inkracht van gewijsde, akan tetapi pengaturan mengenai tata cara pembayarannya belum diatur, untuk sementara mengenai tata caranya secara analogi dianjurkan oleh Mahkamah Agung mengacu pada ketentuan dalam PP No.43 Tahun 1991 tentang Ganti Rugi Dan Tata Cara Pelaksanaannya Pada Peradilan Tata Usaha Negara. Di balik Ketegasan Pasal 116 ayat (4) UU No.51 Tahun 2009 ternyata masih terdapat beberapa kelemahan, sehingga seolah-olah keberadaan pasal 116 ayat (4) UU No.51 Tahun 2009 hanya sebagai basa-basi para elit politik untuk memenuhi kriteria negara hukum, karena disamping tidak menentukan tata cara pembayarannya secara pasti, juga pengenaan uang paksa ini praktis hanya dimungkinkan berlaku pada perkara yang menyangkut kepegawaian.[4]�Sehingga timbul permasalahan mengenai bagaimanakah bila yang tergugat adalah kepala daerah. Apakah hubungan pemerintah pusat maupun daerah jabatannya dapat dikategorikan layaknya lingkungan kepegawaian agar dapat mengenakan sanksi administratif. Meskipun dalam kenyataannya perkara yang masuk di PTUN sampai saat ini kira-kira 85 % dalam masalah pertanahan, dan belum ada kasus sengketa TUN, dimana Gubernur sebagai tergugat tidak melaksanakan putusan PTUN, namun ini tidak memupus kemungkinan pada suatu saat keadaan ketidak patuhan terhadap putusan PTUN oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara menjadi faktual dikemudian hari. Untuk mengantisipasi ini, maka perlu dideskripsikan upaya apa yang dapat dilakukan penggugat untuk merealisasikan muatan hak yang terkandung dalam putusan PTUN yang tidak dilaksanakan oleh Badan/Pejabat TUN yang�inkracht van gewijsde dan juga ketika surat penetapandwangsom telah dilayangkan serta pengumuman di media massa juga tidak diindahkan oleh pejabat yang bersangkutan. Permasalahan itulah yang kurang lebih menjadi kajian dalam laporan ini, dengan harapan dapat memberikan gambaran untuk mencapai suatu pemerintahan yang baik yang selama ini masih sebatas utopia dalam kehidupan bernegara di Republik Indonesia yang tercinta ini. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah, maka dalam makalah ini ada beberapa masalah yang dirumuskan dan dicari jawaban atau penyelesaiannya secara ilmiah.� Beberapa masalah tersebut adalah sebagai berikut : 1.����Apakah Presiden dapat menjatuhkan sanksi terhadap Gubernur yang tidak melaksanakan Putusan PTUN yang�inkracht van gewijsde? 2.����Upaya Lanjutan Apa yang Dapat Ditempuh Tergugat Dalam Hal Putusan yang�Inkracht van Gewijsde, dan Pasal 116 (4), (5), dan (6) Tidak Dilaksanakan Oleh Kepala Daerah?
C.� Tujuan� : Makalah ini bertujuan untuk : 1.����������������� Untuk melatih menyatakan pikiran secara tertulis. 2.����������������� Sebagai��bentuk penjawab rasa penasaran mengenai kelemahan eksekutorial dari putusan TUN yang disandarkan pada ketentuan UU no.5 Tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004 Jo. UU No. 51 Tahun 2009. D. Manfaat : Adapun manfaat dari makalah ini adalah memberikan kontribusi pemecahan atau jalan keluar permasalahan yang ditemui khususnya dalam masalah putusan PTUN yang tidak dilaksanakan oleh Kepala Daerah dan mengetahui upaya apa yang bisa dilakukan oleh penggugat apabila ini menimpa perkaranya dikemudian hari.
BAB II PEMBAHASAN
A. Tindakan Presiden Apabila Kepala Daerah yang Tidak Merealisasikan Hak�Penggugat yang Termuat Dalam Amar Putusan PTUN yang�Inkracht van Gewijsde.
Dalam Hukum Administrasi Negara terdapat dua macam perlindungan hukum (rechtsbescherming), yaitu perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif (sebagaimana dikemukakan dalam tinjauan pustaka). Pembagian tersebut tidak terlepas dari maksud yang terkandung dalam Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik, yaitu asas kepastian hukum. Untuk menjaga kepastian hukum itulah pada dasarnya perlindungan hukum di realisasikan dengan penegakan hukum. Dalam kajian ini akan terlihat lebih intens penekanannya pada perlindungan hukum yang bersifat represif, karena konteks perlindungan hukum dalam kajian ini dikaitkan pada deskripsi perbuatan melanggar hukum penguasa atau�Onrechtmatig Overheidsdaad(selanjutnya ditulis OOD) yang berarti bukan lagi masuk dalam kompetensi�administrative beroep, melainkan masuk dalam kompetensi Pengadilan. Meskipun belum begitu tegas dapat diputuskan pengadilan mana yang paling kompeten untuk menangani permasalahan OOD, namun mengenai masalah OOD untuk kedepannya akan diatur dalam UU Administrasi Pemerintahan, yang sekarang masih dalam Rancangan. Dimana dalam Pasal 45 ayat (3) RUU Administrasi Pemerintahan menentukan, �Setiap pejabat Administrasi Pemerintahan yang tidak melaksanakan upaya paksa sebagaimana dimaksud dalam pasal 43 ayat (6) dan ayat (8) dikenai pidana kurungan maksimal 3 (tiga) bulan kurungan�. Akan tetapi belum dapat dipastikan apakah efektif diberlakuakan kepada Gubernur selaku Kepala Daerah Tingkat I, mengingat bahwa kedudukannya berdasarkan pemilihan umum secara langsung, sama halnya dengan presiden, berarti apakah dilakukan�impeachment terlebih dahulu sebelum penjatuhan sanksi atau bagaimana, pasal ini masih belum dapat dijamin kepastian hukumnya. Terlepas dari permasalahan di atas, untuk sementara ini sambil menunggu RUU Administrasi Pemerintahan disah-kan, maka hakim tetap berpijak pada UU /5/1986 Jo. UU/9/2004 Jo. UU 51/2009. Perlindungan hukum represif dalam prosesi peradilan administrasi, pemeriksaan perkara oleh hakim hanyalah bertolak ukur pada�rechtmatigheidkarena hakim tidak berhak menggunakan tolak ukur pada�Doelmatigheid, ketidak berhakkan ini berkaitan dengan konsekuensi dari pemisahan kekuasaan antara�yudikatifdan�eksekutif, sehingga kewenangan hakim PTUN hanya berhenti pada putusan yang memuat pertimbangan hukum hasil kajian kriteria�rechtmatigheid, setelah putusan dijatuhkan oleh majelis hakim dan putusan tersebut sudah memiliki kekuatan hukum tetap, maka hakim tidak mungkin mengutus seorang jurusita untuk memaksa Kepala Daerah mematuhi Putusan PTUN, agar terlaksana eksekusi putusan secara riil layaknya dalam kasus-kasus perdata. Meskipun J.B.J.M. Ten Berge pernah mengemukakan bahwa sanksi merupakan inti dari penegakan hukum administrasi, yang istilah asingnya �in cauda venenum� artinya bahwa dibagian akhir kaidah hukum terdapat sebuah sanksi. Akan tetapi pada umumnya��tidak ada gunanya memasukkan kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan bagi Pejabat TUN dalam peraturan perundang-undangan Tata Usaha Negara, ketika aturan tingkah laku itu tidak dapat dipaksakan oleh PTUN.[5]� Karena dalam PTUN yang dikenai sanksi bukan individu pejabatnya, akan tetapi jabatannya. Dalam kepustakaan Hukum, suatu sanksi itu adalah sarana bagi penegakan hukum selain pengawasan, maka sanksi sering dilekatkan pada suatu norma hukum tertentu. Hanya saja dalam hal Administrasi Pemerintahan, suatu sanksi administrasi hanya bisa dijatuhkan oleh pemerintah itu sendiri. Sehingga permasalahan yang timbul adalah apakah mungkin Presiden menjatuhkan sanksi administrasi pada Gubernur yang tidak melaksanakan putusan PTUN sebagai efek jera? Bila mengingat Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya ditulis UU 32/2004,�penulis) yang memberikan otonomi seluas-luasnya untuk memberdayakan wilayah pemerintahan di daerah, dan bila dibandingkan dengan esensi pasal 116 ayat (6) UU 51/2009, dimana dalam redaksi pasal tersebut Presiden didudukkan sebagai pemegang pemerintahan tertinggi namun kewenangan Presiden dalam pasal 116 ayat (6) tersebut hanya menyangkut pada hal (peristiwa) Pejabat TUN yang tidak melaksanakan putusan PTUN yang�inkracht van gewijsde hanya disebutkan dengan menggunakan��term �memerintahkan�, yang sama sekali tidak mengandung unsur sanksi. Penegasan kewenangan Presiden secara Implisit dalam pasal 116 ayat (6) demi�memberi perlindungan hukum (dalam masalah putusan yang tidak dilaksanakan oleh Kepala Daerah) Penggugat, maka terlihat penegakan hukum lebih dikembalikan kepada pemerintah sendiri dalam hal ini pemerintah atasan.[6]� Secara ketatanegaraan, kedudukan dalam pemerintahan selalu dalam hubungan yang vertikal dan horisontal. Untuk menelusuri bagaimana tanggung jawab Presiden (sesuai konteks kajian ini), atas kedudukan Kepala Daerah, maka kajiannya sebatas dilakukan melalui dua penelusuran teoritis, yaitu tanggung jawab dilihat dari bentuk Negara Republik Indonesia, dan Tanggung jawab dilihat dari perpektif teori Kewenangan B.������ Dilihat Dari Bentuk Negara Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa �Negara Indonesia ialah Negara kesatuan, yang berbentuk republik�. Dari sana maka di ketahui bahwa sistem administrasi pemerintahan Negara republik Indonesia pada dasarnya bersifat sentralistik sesuai dengan konsekuensi logis penganutan bentuk Negara kesatuan (eenheidsstaat atau�unitary), dimana kekuasaan tertinggi pemerintahan tetap berada pada kekuasaan pemerintah pusat.[7] Begitu pula halnya Shepherd L. Witmen dan John J. Wuest dalam gambarannya menegaskan secara implisit bahwa implikasi dari Negara kesatuan terhadap sistem kerja pemerintahan adalah senantiasa akan mengarah kepada sentralisasi, dengan menyebutnya sebagai �Sistem Pemerintahan Kesatuan� (Unitary Sistems of Government). � Namun seiring waktu dalam merealisasikan tujuan dari negara Indonesia yang termuat dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia pada alinea keempat, yang menyebutkan, �� melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia�.. yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan yang maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permuyawaratan/perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia�. Demikian pula dengan memandang suku dan kebutuhan yang beragam dalam setiap daerah, serta mengingat juga bahwa Indonesia adalah Negara kepulauan, Sehingga Negara kesatuan yang dianut oleh Indonesia haruslah memperlancar jalannya pembangunan yang merata, oleh karena itu negara kesatauan Indonesia haruslah menganut asas desentralisasi. Melalui desentralisasi, kemerataan pembangunan dapat dilaksanakan secara merata. Maka lahirlah kedudukan pemerintahan daerah di Indonesia, dimana terkait hal ini secara konstitusional ditegaskan dalam pasal 18 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Lebih lanjut mengenai Pasal 18 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 (amandemen 2000), yang menentukan : �Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu di bagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, ��. Dimana pengaturan tersebut diulang penyebutannya pada pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, yang menentukan : �Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota ��. Hubungan koordinasi kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah berupa koordinsi, pembinaan, dan pengawasan dalam bidang administrasi dan kewilayahan dapat dijumpai salah satunya pada Surat Edaran Menpan Nomor B-471/I/1991 tentang pelaksanaan putusan PTUN yang ditujukan kepada para menteri kabinet pembangunan pembangunan V, jaksa agung, Gubernur Bank Indonesia, Sekretaris Jenderal Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, para pimpinan lembaga pemerintahan non-Departemen & para Gubernur kepala daerah. Surat itu mengemukakan : ��.Dalam kenyataan Putusan Pengaadilan Tata Usaha Negara tidak terlaksana sesuai putusan. Hal ini mengundang berbagai opini di kalangan masyarakat yang menimbulkan kesan bahwa aparatur Negara sebagai pejabat tata usaha negara tidak mengindahkan dan tidak melaksanakan putusan pengadilan, bertindak sewenang-wenang sehingga kehadiran Pengadilan Tata Usaha Negara dirasakan tidak bermanfaat. Keadaan demikian tidak menguntungkan bagi upaya penegakan hukum dan upaya menciptakan aparatur negara yang bersih dan berwibawa. Berhubungan dengan itu kami mohon kiranya saudara-saudara dapat mengingatkan kepada para Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan masig-masing untuk membantu kelancaran dan keberhasilan Pengadilan Tata Usaha Negara dalam melaksanakan tugasnya yang sudah menjadi komitmen nasional. Untuk itu hendaknya Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat membantu kelancaran proses penyelesasian perkara gugatan dan melaksanakan putusan atau penetapan pengadilan dengan sebaik-baiknya. Selanjutnya apabila pejabat tata usaha negara yang bersangkutan tidak mengindahkan putusan/penetapan pengadilan, hendaknya atasan atau pejabat yang bersangkutan melakukan peneguran atau memerintahkan untuk pelaksanaannya�.� Dalam negara kesatuan Indonesia yang berlandaskan asas desentralisasi, maka kekuasaan pemerintah pusat dan pemerintahan daerah tidaklah terbagi layaknya Negara serikat. Dalam Negara kesatuan (eenheidsstaat atau�unitary) kedudukan pemerintah pusat adalah pengendali dari pemerintahan daerah. Mengenai argumentasi ini dapat dirujuk pasal 18 ayat (1) yang bila ditafsirkan secara�a contrario berdasarkan teori kewenangan (dalam hal ini delegasi), maka didapat bahwa Dalam Negara kesatuan dengan desentralisasi pemerintahan daerah hanya bagian dari pemerintah pusat berdasarkan pada pemencaran kekuasaan, bukan pembagian kekuasaan yang seperti maksud bentuk Negara serikat.[8] Begitu pula yang digambarkan oleh Astim Ryanto bahwa antara pusat dan daerah memiliki hubungan vertikal atau hierarkis, sebagai berikut :[9]
Pertalian antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah ini dapat memberikan perlindungan hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata, karena dengan kekuasaan pemerintah pusat dalam hal administrasi dan kewilayahan yang merupakan pemegang kewenangan yang sifatnya atributif dapat memerintahkan kepada kepala daerah yang tidak menjalankan putusan PTUN yang�inkracht van gewijsde agar segera melaksanakan putusan PTUN. Mengenai perlindungan hukum dalam hal ini, dapat dikutip pendapat Sjachran Basah yang menyatakan : ��administrasi negara mempunyai kewenangan dan warga memiliki hak, sedangkan sebaliknya warga serta administrasi Negara memperoleh pula kewajiban. Oleh karena itu, pada kewenangan dan hak melekat kewajiban, �� selanjutnya beliau menegaskan lebih normatif bahwa mengikuti konstruksi hukum yang sedemikian, maka secara konstitusional titik sentral kewenangan-kewajiban untuk administrasi Negara dirumuskan dalam pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, sedangkan bagi warga ditetapkan oleh pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian kedudukan antara hak seseorang dan kewenangan pejabat administrasi mempunyai kekuatan konstitusional yang sama, karena masing-masing diatur oleh Undang-Undang Dasar 1945, sehingga apabila hak seseorang��yang dikuatkan dengan putusan Pengadilan menuntut kepada pejabat administrasi (Gubernur) untuk manjalankan sesuatu kewajiban sesuai pasal 97 ayat (9) UU 9/2004, maka Pejabat TUN harus melaksanakan tuntutan tersebut sebagai kewajiban hukum. Sehingga kewajiban presiden dalam Negara hukum materiil (welfarestate) secara koordinatif adalah melakukan tindakan yang responsif dan menempatkan rakyat di atas segala-galanya untuk mencapai kesejahteraan. Namun karena kedudukan presiden dan gubernur��dalam neara kesatuan bukanlah hubungan antara atasan dan bawahan layaknya hubungan kepegawaian, maka presiden tidak dapat mengenakan sanksi apapun kepada Gubernur. Dalam keadaan��ini Presiden hanya dimungkinkan untuk memerintahkan atau melakukan pemanggilan kepada gubernur untuk dimintai keterangan terkait tindakannya yang tidak melaksanakan putusan PTUN yang telah�inkracht van gewijsde, esensi yang sedemikian rupa dianut dalam ketentuan pasal 116 ayat (6), dimana presiden selaku lembaga eksekutif negara (secara sempit - presiden adalah pelaksana undang-undang) hanya berkewajiban untuk �memerintahkan� Pejabat TUN untuk melaksanakan Putusan. Di lain sisi dalam pengertian lebih luas, presiden dapat pula melakukan tindakan yang lebih nyata, yaitu dengan melakukan pemanggilan terhadap Gubernur yang bersandar pada kewenangan diskresi (freies Ermessen).
C. Ditinjau Dari Perspektif Teori Kewenangan Dari perspektif teori kewenangan (atribusi dan delegasi) maka haruslah pula menimbulkan implikasi pada pengorganisasian administrasi baik dipusat, di daerah, maupun antara hubungan pusat dan daerah yang sifatnya hierarkis antara pemegang kewenangan atributif dan pemegang kewenangan delegatif (meskipun hanya sebatas pembinaan dan pengawasan). Argumentasi tersebut merujuk pada pendapat Indroharto yang menyatakan bahwa pada delegasi itu terjadi pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang telah memperoleh wewenang secara atributif kepada badan atau jabatan Tata Usaha Negara Lainnya. Jadi suatu delegasi selalu didahului oleh adanya suatu atribusi wewenang.[10] Dari pernyataan Indroharto itu, terimplisit sebuah beban tanggung jawab yang diemban pemilik kewenangan yang sifatnya atribusi atau asli yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 khususnya dalam hal ini DPR (pemilik kewenangan legislasi) dan Presiden (pemegang kewenangan regulasi pemerintahan) untuk melakukan pemantauan pelaksanaan wewenang yang diberkan kepada kepala daerah. Dengan demikian maka DPR dan Presiden memiliki kewenangan untuk memantau jalannya pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang dikeluarkannya baik dalam bentuk legislasi DPR atau undang-undang maupun bentuk regulasi berupa peraturan pemerintah dari presiden, karena bagaimanapun juga yang menimbulkan kewenangan bagi�delegataris (pejabat yang menerima wewenang, dalam kajian ini adalah Gubernur) adalah DPR dan Presiden. Jika terjadi penyimpangan maka badan yang paling pertama berkewajiban melakukan peneguran kepada Gubernur adalah DPR dan/atau Presiden. Akan tetapi masih timbul pertanyaan mengenai pasal 116 ayat (6) UU 51/2009 apakah yang dimaksud dewan perwakilan rakyat itu DPR RI atau DPRD, begitu juga dalam penjelasannya tidak dijelaskan mengenai hal tersebut. Mengenai pertanggung jawaban presiden di atas bukanlah seperti halnya pertanggungg jawaban oleh atasan kepada pegawai-pegawainya, karena dalam�Algemene wet Bestuursrecht (Awb) dinyatakan bahwa �het overdragen door een bestuursorgaan van zijn bevoegheid tot her nemen van besluiten aan een ander die deze onder eigen verantwoordelijkheid uitoefent�[11]�(pelimpahan wewenang oleh organ pemerintahan kepada organ lain untuk mengambil keputusan dengan tanggung jawab sendiri). Ketentuan Awb ini oleh Ridwan dianggap memiliki maksud bahwa dalam penyerahan wewenang melalui delegasi, pemberi wewenang telah lepas dari tanggung jawab hukum atau dari tuntutan pihak ketiga jika dalam penggunaan wewenang itu menimbulkan kerugian pada pihak lain. Oleh sebab itu dalam masalah ini, Presiden tidak mungkin melakukan tindakan represif melalui sanksi administratif kepada Gubernur, karena Presiden tidak dalam hubungan kepegawaian dengan Gubernur. Begitu pula Philipus M. Hadjon memberikan gambaran syarat-syarat pelimpahan wewenang secara delegasi, yang menyiratkan secara tegas batas-batas bagi Presiden untuk melakukan intervensi terhadap Gubernur, yang tidak memungkinkan Presiden menjatuhkan Sanksi Administratif maupun pencabutan wewenang yang telah diberikan kepada Gubernur, syarat-syarat itu sebagai berikut : 1.��������Delegasi harus definitif dan pemberi delegasi (delegans) tidak dapat lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu. Kecuali setelah ada pencabutan yang berpegang pada asas�contrarius actus 2.��������Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, artinya delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan untuk itu dalam peraturan perundang-undangan. 3.��������Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hierarki kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi. 4.��������Kewajiban memberikan keterangan (penjelasan), artinya delegans berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut. 5.��������Peraturan kebijaksanaan (beleidsregel), artinya Delegans memberikan instruksi (petunjuk) tentang pengunaan wewenang tersebut.[12] Dengan demikian maka pasal 116 ayat (6) UU 51/2009 memang tidak memiliki arti apapun di mata Gubernur yang memang tidak mau menjalankan Putusan PTUN, apalagi bila Individu yang memegang jabatan sebagai Gubernur dalam keadaan akhir masa jabatan, maka Gubernur bisa saja acuh pada Putusan PTUN dan tidak mau melaksanakannya, dan keacuhan tersebut tidak dapat dihentikan begitu saja dengan pasal 116 UU PTUN, karena memang tidak begitu memiliki kekuatan eksekutorial, semua ini dikembalikan kepada kesadaran Gubernur untuk mematuhi putusan PTUN.�[13]� Meskipun demikian, pencantuman pasal 116 ayat (6) tersebut memang perlu, untuk menegaskan tanggung jawab Presiden selaku pelaksana tertinggi pemerintahan Negara, yang dalam pasal 10 ayat (3) UU 32/2004 menyebutkan dalam huruf d bahwa pemerintah pusat memegang urusan Yustisi. Sejauh ini kajian dalam laporan ini, terdapat sebuah tendensi dalam pasal 116 (4), (5), dan (6) tidak mengandung norma hukum, akan tetapi justru mengandung norma kesusilaan semata, sehingga pasal ini perlu dipertanyakan apakah pantas disebut sebagai sanksi hukum TUN atau sebaliknya hanya sebuah norma basa-basi TUN. D. Upaya Lanjutan yang Dapat Ditempuh Tergugat Dalam Hal Putusan yang�Inkracht van Gewijsde, dan Ketentuan Pasal 116 (4), (5), dan (6) Tidak Dilaksanakan Oleh Kepala Daerah. Secara formal, yaitu merujuk pada Undang-undang No. 51 Tahun 2009 tentang perubahan kedua UU PTUN (selanjutnya hanya ditulis UU/51/2009), bagi tergugat yang dalam hal ini adalah Gubernur tidak mau melaksanakan putusan pengadilan tata usaha Negara yang�inkracht van gewijsde, khususnya mengenai putusan yang amarnya menyangkut pasal 97 ayat (9) huruf b dan c UU/5/1986, yaitu yang memerintahkan kepada badan atau pajabat tata usaha negara untuk mencabut KTUN yang disengketakan dan menerbitkan KTUN baru��atau menerbitkan KTUN yang memberi hak pada pengguat, maka ketentuan yang dapat digunakan sebagai landasan bagi penggugat untuk memohon kepada ketua pengadilan adalah pasal 116 ayat (4), (5), dan (6) UU/51/2009. Kriteria untuk memberlakukan pasal 116 ayat (4), (5), dan (6) UU/51/2009 adalah harus terlebih dahulu memenuhi maksud dari ketentuan pasal 116 ayat (3)-nya, yang menetapkan jangka waktu kapan suatu putusan PTUN itu dianggap tidak dilaksanakan. Dalam��ayat (3) UU/51/2009 tersebut ditentukan tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari kerja setelah putusan PTUN tersebut dinyatakan telah memiliki kekuatan hukum mengikat (kracht van gewijsde) namun putusan belum dilaksanakan, maka badan atau pejabat tata usaha Negara sudah dapat dinyatakan memenuhi maksud dari ketentuan pasal 116 ayat (3) UU/51/2009. Berdasarkan keadaan tersebut, pihak penggugat sudah dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara/ Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang mengadilinya dalam tingkat pertama agar memerintahkan kepada tergugat untuk melaksanakan kewajiban untuk menerbitkan��Keputusan Tata Usaha yang dimaksud dalam amar putusan. Menurut Paulus Effendi Lotulung,[14] perintah dari Ketua Pengadilan tersebut berupa surat perintah yang dituangkan dalam bentuk penetapan. Jika Ketua Pengadilan telah memerintahkan kepada tergugat dan tergugat tetap tidak mau melaksanakan kewajibannya untuk menerbitkan keputusan Tata Usaha Negara, maka terhadap yang bersangkutan dapat dikenakan upaya paksa berupa pembayaran upaya paksa dan/atau sanksi administratif. Namun dalam permasalahan lebih lanjut mengenai pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha ini mendapat batu ganjalan lagi apabila uang paksa dan sanksi administratif juga tidak mau diindahkan oleh badan atau pejabat tata usaha Negara. Mengenai permasalahan ini menurut Yohanes Usfunan akan mengakibatkan suatu putusan pengadilan tata usaha Negara itu mengambang (floating execution)�.[15]�Maka dalam perkembangan yurisprudensi, tindankan pemerintah sepertu keadaan ini dapat disebut sebagai tindakan melawan hukum penguasa atau�onrechtmatige overheidsdaad (disingkat OOD). Pada awalnya tidak ada peraturan yang mengatur mengenai permasalahan ini, dan masih dalam perdebatan mengenai kepada siapa pembebanan uang paksa atau ganti rugi akan dibebankan jika dilakukan gugatan tentang OOD. Apakah jabatannya atau individu pejabat. Setelah ditelusuri, ternyata Putusan MA No.66K/SIP/1952 dalam perkara KASUM, telah berusaha memformulasikan mengenai perbuatan melanggar hukum penguasa, yang dalam putusannya menyatakan bahwa suatu tindakan yang bisa disebut OOD��apabila ada perbuatan sewenang-wenang (willkeur) dari pemerintah atau merupakan tindakan yang tiada anasir kepentingan umum. Namun pertimbangan ini masih sifatnya bias dan terlalu luas, karena menurut MA, apabila adanya unsur kepentingan umum dalam tindakan pemerintah maka dinyatakan bukan perbuatan melanggar hukum oleh penguasa. Baru pada tahun 1972, yaitu pada Putusan MA No.838/SIP/1972 dalam perkara Josopandjoyo, ditegaskan lebih jelas tentang criteria�rechtmatighed seperti yang ditegaskan pada tinjauan pustaka dalam laporan ini, yang secara sifatnya adalah merupakan lawan dari�onrechtmatigheid overheidsdaad, sehingga dalam poin tersebut dapat disimpulkan bahwa kriteria OOD adalah : 1.������Perbuatan melanggar hukum oleh penguasa harus di ukur dengan undang-undang dan peraturan formil yang berlaku. 2.������Harus diukur kepatutan dalam masyarakat dan karenanya harus dipatuhi oleh penguasa. 3.������Penilaian tentang faktor sosial (dari penyewa dan pemilik) adalah wewenang kepala daerah sebagai penguasa yang bukan termasuk kompetensi pengadilan untuk menilainya, kecuali kalau wewenang itu dilakukan dengan malanggar undang-undang dan peraturan formal atau melampaui batas kepatutan dalam masyarakat yan harus diperhatikan oleh penguasa. Dengan adanya putusan MA No.838/SIP/1972 dalam perkara Josopandjoyo tersebut akhirnya MA mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia tertanggal 25 februari 1977 Nomor MA/Pemb/0159/77 yang menyerukan kepada ketua Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan Tinggi Negeri se-Indonesia yang isinya antara lain : Dalam mengadili perkara di mana pemerintah digugat karena melakukan perbuatan melanggar hukum hendaknya megadakan keseimbangan antara perlindungan terhadap seseorang (individu) dan terhadap kepentingan persekutuan penguasa. Dengan demikian perlindungan hukum jelas disini, dimana kedudukan seseorang dalam persengketaan KTUN yang dalam hal ini melawan Badan/Pejabat Tata Usaha Negara adalah sama dimata Pengadilan Tata Usaha Negara, hal ini akhirnya diadopsi dalam UU PTUN yang memasukkan asas hakim aktif dalam proses beracaranya, Namun kendala asas hakim aktif tersebut hanya berlaku dalam proses beracara, tidak dalam hal eksekusi putusan pengadilan. Sehingga setiap tindakan yang harus dilakukan oleh penggugat��adalah tindakan yang atas dasar pelaporan kepada ketua pengadilan dalam upaya klaim hak sesuai amar putusan, sedangkan biaya yang dikeluarkan dalam upaya ini ditanggung oleh penggugat sendiri terkecuali bagi acara yang ditetapkan oleh Ketua PTUN sebagai perkara prodeo. Selama ini pelanggaran yang dilakukan oleh Pejabat TUN adalah mengenai biaya pembayaran perkara saja, yakni apabila tergugat dalam hal ini Pejabat TUN diputus kalah oleh ketua majelis hakim (pasal 110 UU 5/1986), seharusnya pihak tergugat yang membayar uang perkara dan keseluruhan biaya yang ada atau tersisa, akan tetapi sebaliknya yang membayar pada kenyataannya adalah pengugat sendiri. Sedangkan untuk pelanggaran putusan dengan tidak melaksanakannya selama ini belum ada, karena sebagian besar perkaran yang masuk adalah 85%-nya terkait hal ihwal pertanahan.[36] Dengan demikian telah terjadi budaya hukum yang membuat asas kepastian hukum itu berjalan, dan hanya asas yang tidak berarti khususnya terkait pasal 110 UU 5/1986. Namun menurut�Pulung� Hudo Prakoso[16], dalam konteks nasional pelanggaran putusan TUN sangat marak terutama di wilayah-wilayah yang masih terbelakang, baik dalam hal ekonomi maupun pemahaman hukum, hal ini karena kekuatan eksekutorial putusan TUN hanyalah sebatas memutus dan menjalankan peraturan perundang-undangan dan mencarikan keadilan bagi�justiciabelen dan pemerintah sebagai jalan keluar persengketaan terkait KTUN yang dikeluarkan pemerintah, sehingga pelaksanaan putusan pada dasarnya dikembalikan kepada kesadaran Pejabat / Tata Usaha itu sendiri dan keaktifan pejabat atasannya dalam penegakan hukum putusan pengadilan. Dari pernyataan tersebut, agar penggugat mendapatkan pelaksanaan putusan yang dilanggar oleh Pejabat TUN dan dalam hal untuk mendapatkan ganti rugi dan/atau kompensasi atas dilanggarnya putusan PTUN tersebut maka tindakan Pejabat TUN yang melanggar putusan TUN tersebut bisa dikaitkan pada pasal 1365 KUHPerdata. Untuk menghadapi perbuatan melanggar hukum penguasa dalam hal ini Kepala Daerah (Gubernur), maka jalan yang paling mungkin untuk ditempuh dalam menguatkan putusan PTUN tersebut adalah dengan mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri. Hal ini dapat dilakukan sesuai dengan perluasan makna pasal 1365 KUHPerdata, yang dikembangkan melalui yurisprudensi Counsil de�etat Perancis yang memberikan garis ketegasan untuk�membedakan�antara�kesalahan dinas (Faute de serve) dan kesalahan pribadi (Faute de personelle). Melalui pengembangan yurisprudensi�Counsil d�Etat tersebut, sehingga kualifikasi bagi�pejabat TUN�yang�tidak patuh�dalam�melaksanakan putusan PTUN,�dinyatakan�tidak sedang melaksanakan peran Negara�yang diberikan wewenang oleh jabatan, akan tetapi cenderung mengarah pada tindakan yang bersifat pribadi.�Dengan demikian�pertanggung jawabannya dibebankan secara pribadi kepada pejabat TUN yang bersangkutan. Dengan pembebanan kepada individu pejabat TUN tersebut sehingga konskuensinya adalah Pejabat TUN tidak lagi bisa menggunakan alasan bahwa perbuatannya adalahrechtmatigheid sesuai pemberlakuan yurisprudensi�Counsil d�Etat di Indonesia, terkecuali bagi tindakan pemerintah yang tidak menjalankan putusan pengadilan didasarkan pada alasan yang membenarkan keadaan pejabat TUN tersebut (dispensasi), misalnya dalam suatu Putusan TUN yang amarnya menentukan untuk mencabut Surat Keputusan yang membuat kedudukan si A dalam hal kepegawaian��yang pada awalnya sebagai kepala bagian, lalu berdasarkan SK yang dikeluarkan tergugat mengakibatkan turun jabatan menjadi staf administrasi, dan pada waktu bersamaan telah diangkat si C sebagai pengganti si A, maka apabila tergugat melaksanakan putusan PTUN maka ini akan tidak adil bagi si C, dan hal itu dapat dijadikan alasan bagi pejabat TUN untuk tidak melaksanakan Putusan, dengan catatan pejabat TUN melaporkannya kepada Ketua Pengadilan Negeri, dan penggugat dapat menuntut biaya kompensasi.
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Melalui penjabaran yang telah dilakukan dalam bab pembahasan maka terdapat kesimpulan sebagai berikut : 1.��������Bahwa presiden memiliki kewenangan untuk melakukan koordinasi, pembinaan dan pengawasan, berdasarkan apa yang diatur dalam Undang-undang Otonomi Daerah dalam hal pemerintah daerah tidak mau melaksanakan putusan pengadilan tata usaha Negara, dan presiden memiliki kewajiban untuk melakukan peneguran kepala daerah untuk memberikan perlindungan hukum kepada penggugat yang adalah orang atau badan hukum perdata yang kedudukannya lebih lemah bila dibandingkan kepala daerah. Namun Presiden tetap tidak dapat memberikan tindakan represif berupa sanksi kepada Gubernur, sehingga tidak memberikan efek jera kepada Gubernur. 2.��������Dalam hal eksekusi putusan PTUN, apabila tidak dilaksanakan oleh pejabat TUN, maka dapat mengenakan pasal 116 ayat (4), (5), (6), setelah memenuhi jangka waktu yang ditentukan oleh pasal 116 ayat (3), apabila masih tidak dilaksanakan oleh pejabat TUN dalam hal ini kepala daerah, maka dapat mengajukannya ke peradilan umum, dengan dasar hukum pasal 1365 KUHPerdata, dengan gugatan ganti rugi.
B. Saran Adapun saran yang dapat disampaikan dari hasil uraian permasalahan dalam laporan ini adalah : 1.��������Pertama, Untuk penggugat dalam berperkara di pengadilan Tata Usaha Negara, agar dalam petitum Gugatannya mencantumkan permintaan upaya paksa untuk mengantisipasi putusan tidak dilaksanakan oleh tergugat. 2.��������Saran kedua, agar pembentuk peraturan perundang-undangan segera menyempurnakan pasal-pasal UU PTUN khususnya terkait masalah eksekusi putusan, dan memasukkan permasalahan OOD secara tegas sebagai hukum positif, sehingga kemudian hari apabila ada pejabat TUN (Gubernur) yang tidak menjalankan putusan PTUN agar bisa dilakukan penggugatan atau bahkan penuntutan berdasarkan hukum pidana untuk mendapatkan saksi secara individu bukan sebagai pemegang kewenangan atas jabatan, dengan demikian sifat eksekusi akan lebih bersifat memaksa, dan dapat menimbulkan efek jera. 3.��������Saran Ketiga, agar Eksekutif dalam hal ini Gubernur tidak diberikan wewenang untuk mengeluarkan Keputusan yang sifatnya Konkrit Individual dan Final terkecuali mengenai keadaan darurat tertentu, agar mengurangi pengaruh politis pada sebuah keputusan.
Daftar Pustaka
Buku � Buku Asminah, Dewi,�Pedoman Penghitungan Tenggang Waktu suatu Keputusan yang Berkekuatan Hukum Tetap dikaitkan dengan eksekusi, Makalah pada��Pelatihan Teknis Fungsional Peningkatan Profesionalisme bagi hakim Pengadilan Tata Usaha Negara dan Hakim Peradilan Militer se-Indonesia, tt, hlm.2.
Hadjon, Philipus. M, 2008,�Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to Indonesian Administrative Law), Cetakan Kesepuluh,Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Indroharto, 1993,�Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku II, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Logemann, J.H.A., 1954,�Over��de Theorie van een Stellig Staatrecht, Penerbit : Saksama, Jakarta
Mahkamah Agung RI,�Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Tata Usaha Negara, Buku II, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2009.
Ridwan, H. R, 2008,�Hukum Administrasi Negara, Edisi 4, Rajawali Press, Jakarta.
Riyanto, Astim, 2006,�Negara Kesatuan (Konsepsi, Asas, dan Aktualisasinya), Cetakan I, Yapemdo, Bandung.
Soetami, A. Siti, 2007,�Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Cetakan Kelima, Refika Aditama, Bandung.
Stroink,�F.A.M dan J.G. Steenbeek, 1985,�Inleiding in het Staats-en Administratief Recht, Alphen aan den Rijn: Samsom H.D. Tjeenk Willink.
Subawa, I Made, dkk, 2005,�Hukum Tata Negara Pasca Perubahan UUD 1945, Penerbit : Wawasan, Denpasar.
Wiyono, R, 2008,�Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta.
Peraturan Perundang-Undangan
?���������Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
?���������Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
?���������Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
?���������Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
?���������Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 Tentang perubahan pertama Undang-Undang No. 5 Tahun 1986��Peradilan Tata Usaha Negara.
?���������Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 Tentang perubahan pertama Undang-Undang No. 5 Tahun 1986��Peradilan Tata Usaha Negara.
[1] Indroharto dalam Dewi Asminah, tt,SH, Pedoman Penghitungan Tenggang Waktu suatu Keputusan yang Berkekuatan Hukum Tetap dikaitkan dengan eksekusi, Makalah pada�Pelatihan Teknis Fungsional Peningkatan Profesionalisme bagi hakim Pengadilan Tata Usaha Negara dan Hakim Peradilan Militer se-Indonesia, hlm.2. [2] Vide pasal 115 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
[3] Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku II, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm 243-244 [4] Untuk lebih rinci lihat dalam, Buku II Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Tata Usaha Negara, dikeluarkan oleh Mahkamah Agung RI berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : KMA/032/SK/IV/2006 tentang Pemberlakuan Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, Edisi 2009, hlm. 68-70.
[5] Bandingkan dengan apa yang ditegaskan oleh Philipus M. Hadjon dalam, B. Arief Sidharta, dkk, 1996, Butir-Butir Gagasan Tentang Penyelenggaraan Hukum dan Pemerintahan yang Layak, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm 337 [6] keberadaan pasal 116 ayat (4), (5), dan (6)��UU 51/2009 cenderung bersifat norma kesusilaan, karena tidak ditemukan unsur norma hukum didalamnya, kecuali dari segi bentuk formal pembentukan UU 51 tahun 2009 saja, yang dibentuk oleh legislatif [7] Riyanto, Astim, 2006, Negara Kesatuan Konsep, Asas, dan Aktualisasinya, YAPEMDO, Bandung, hlm.139 [8] M. Solly Lubis, 1991, Asas-asas Hukum Tata Negara, cetakan kedua, PT Alumni, Bandung, hlm. 149 [9] Astim Ryanto, Op.cit, hlm 318 [10] Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 91 [11] Afdeling I A. 1.2�Algemene Wet Bestuursrecht 1992 [12] Philipus M Hadjon Dalam Ridwan HR, 2008, Hukum Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 107-108 [13] Hasil wawancara pada hari selasa, tanggal 29 Desember 2009, di ruangan Bagian Umum dengan Pulung� Hudo Prakoso, Hakim di PTUN Denpasar [14] Lihat Paulus. E Lotulung, dalam R. Wiyono, 2008, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 235 [15] Johanes Usfunan, 2002, Perbuatan Pemerintah yang dapat Digugat, Penerbit : Djambatan, Jakarta, hlm. 84 [16] Hasil wawancara pada hari selasa, tanggal 29 Desember 2009, di ruangan Bagian Umum dengan Pulung� Hudo Prakoso, Seorang Calon Hakim di PTUN Denpasar