ADALAH sangat mengejutkan tatkala hakim Agung H. Toton Suprapto, SH mengemukakan dalam salah satu lokakarya pertanahan di Jakarta bahwa, dari 4.048 perkara kasasi yang diajukan penyelesaiannya di tingkat kasasi Mahkamah Agung RI (MA) selama tahun 2001, sebanyak 2.066 kasus (51.04%) adalah kasus sengketa tanah. Suatu jumlah kasus yang fantastis dan perlu ditindaklanjuti Disamping itu, kemungkinan masih ada lagi kasus sengketa tanah yang belum/tidak diangkat ke permukaan. Tetapi di lain pihak MA mempunyai jumlah hakim agung yang sangat terbatas, sehingga kesulitan untuk menyelesaikan kasus-kasus yang ada, dan juga kasus yang masuk ke MA dengan berjalannya waktu. Demikian besarnya kasus sengketa tanah yang ada, tidaklah dapat diabaikan tanpa dicarikan jalan penyelesaiannya. Karena kasus dan konflik tersebut akan dapat menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja dan berakibat buruk bagi stabilitas bangsa ini. Dengan banyaknya jumlah sengketa tanah tersebut dapat diduga bahwa banyak sekali jenis dan ragam kasus sengketa tanah yang ada. Secara garis besar, menurut Prof. Maria W. Sumarjono, dkk, 1999, tipologi sengketa pertanahan dapat dipilah menjadi 5 (lima) kelompok yaitu: (1) kasus-kasus tanah berkenaan dengan penggarapan rakyat atas areal perkebunan, kehutanan, dan lain-lain; (2) kasus-kasus berkenaan dengan pelanggaran peraturan landreform; (3) kasus-kasus berkenaan dengan ekses-ekses dalam penyediaan tanah untuk pembangunan; (4) sengketa perdata berkenaan dengan masalah tanah; dan (5) sengketa tanah berkaitan dengan tanah ulayat. Di antara kelima pola sengketa tanah tersebut, sengketa berkenaan dengan tanah ulayat sangat perlu mendapat perhatian khusus untuk diwaspadai dan diselesaikan. Hal ini karena hak-hak adat dihormati dan dilindungi oleh berbagai konvensi internasional maupun berbagai peraturan perundang-undangan dalam lingkup nasional maupun regional/daerah. Beberapa peraturan perundangan tersebut adalah UUD 1945 Perubahan Kedua, Tap MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, UU No. 39 /1999 tentang HAM, Permen Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, UU No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas), serta di tingkat regional/daerah yaitu: UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, dan Perda (Rancangan Perda) Provinsi Sumatera Barat tentang Pengaturan Pemanfaatan Tanah Ulayat di Provinsi Sumatera Barat. Penyebab lainnya bahwa sengketa tanah ulayat tersebut sangat penting diperhatikan adalah karena banyak sekali sengketa tanah skala besar di tanah air kita ini berkaitan dengan tanah ulayat masyarakat hukum adat di suatu daerah tertentu. Misalnya adalah sengketa tanah ulayat antara masyarakat adat dengan perusahaan perkebunan dan/atau kehutanan. Hal ini dapat kita temui di daerah Lampung, Sumatera Utara, Jawa Barat, dan daerah lainnya di Indonesia. Untuk menyelesaikan sengketa pertanahan ini maka diperlukan dikenali akar penyebab masalah sengketa tanah tersebut. Menurut Christopher W. More, 1996 dalam Maria W. Sumardjono, akar permasalahan sengketa pertanahan dalam garis besarnya dapat ditimbulkan oleh hal-hal sebagai berikut: (1) konflik kepentingan yaitu adanya persaingan kepentingan yang terkait dengan kepentingan substantif, kepentingan prosedural, maupun kepentingan psikologis; (2) konflik struktural, yang disebabkan pola perilaku destruktif, kontrol pemilikan sumberdaya yang tidak seimbang; (3) konflik nilai, karena perbedaan kriteria yang digunakan untuk mengevaluasi gagasan/perilaku, perbedaan gaya hidup, ideologi, agama/kepercayaan; (4) konflik hubungan, karena emosi yang berlebihan, persepsi yang keliru, komunikasi yang buruk/salah, pengulangan perilaku yaang negatif; dan (4) konflik data, karena informasi yang tidak lengkap, informasi yang keliru, pendapat yang berbeda tentang hal-hal yang relevan, interpretasi data yang berbeda, dan perbedaan prosedur penilaian. Sehubungan dengan tipologi dan jenis sengketa tanah serta beberapa hal yang mungkin menyebabkan konflik pertanahan tersebut, maka MPR memberikan mandat melalui Tap MPR No. IX/2001 Pasal 5 ayat (1) huruf d mengamanatkan bahwa salah satu arah kebijakan pembaruan agraria adalah: "menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum". Untuk itu maka pemerintahan yang ada saat ini perlu berupaya keras untuk menyelesaikan berbagai konflik pertanahan yang ada. Menurut Prof. Arie S. Hutagalung, SH, MLI, munculnya berbagai kasus pertanahan tersebut tidak dapat dilepaskan dari konteks kebijakan pemerintah (Orde Baru, saat itu) yang banyak bersifat ad hoc, inkonsisten dan ambivalen antara satu kebijakan dengan kebijakan lainnya. Struktur hukum pertanahan menjadi tumpang tindih. Undang-Undang Pokok Agraria-UUPA (UU No 5/1960) yang awalnya merupakan payung hukum bagi kebijakan pertanahan (dan kebijakan agraria umumnya) di Indonesia, menjadi tidak berfungsi dan bahkan secara substansial terdapat pertentangan dengan diterbitkannya berbagai peraturan perundangan sektoral seperti UU No 5/1967 tentang Pokok-pokok Kehutanan yang diperbaharui dengan UU No 41/1999 tentang Kehutanan, UU Pokok Pertambangan No 11/1967, UU Pertambangan Minyak dan Gas Bumi No 44/1960, UU Transmigrasi No 3/1972 kemudian diperbarui dengan UU No 15/1997, UU Pengairan No 11/1974, UU Pemerintahan Desa No 5/1975, UU Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup No 4/1982 diperbarui kembali menjadi UU No 23/1997, UU Rumah Susun No. 16 /1985, UU Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem No 5/1990, UU Penataan Ruang No 24/1992 dan yang terakhir adalah UU Pemerintahan Daerah No 22/1999 dan UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah No 25/1999, yang diikuti dengan PP No 25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom. Keseluruhan undang-undang tersebut mempunyai posisi yang sama dan menjadikan tanah sebagai objek yang sama. Benturan di lapangan tidak dapat dihindarkan, antara penggunaan dan penafsiran undang-undang yang berbeda oleh pejabat-pejabat pemerintah sektoral yang berbeda-beda terjadi atas konflik penguasaan tanah yang sama. Perbedaan antar undang-undang tersebut di atas tidak hanya dapat memberikan peluang pada perbedaan interpretasi para birokrat, tetapi juga secara substansial undang-undang tersebut tidak integratif. Sehubungan dengan adanya inkonsistensi dan ambivalensi kebijakan, serta tumpang tindihnya peraturan dan perundang-undangan pertanahan tersebut, Tap MPR No. IX/2001 Pasal 6: menugaskan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia bersama Presiden Republik Indonesia untuk segera mengatur lebih lanjut pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam serta mencabut, mengubah dan/atau mengganti semua undang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang tidak sejalan dengan Ketetapan ini. Mandat ini seyogyanya ditindak lanjuti secara konkrit oleh Pemerintah dan DPR dengan mereview peraturan perundangan yang ada dan mensinkronkannya serta menyesuaikannya dengan prinsip dan arahan kebijakan yang dimandatkan dalam ketetapan ini. (Ir. Abdul Haris, MPM, Pemerhati Pertanahan, bekerja di Bappenas)
Potensi Bahaya Konflik dan Sengketa Tanah
Category: Pendapat Hukum