Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) No. 32 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Perundang-undangan Melalui Jalur Nonlitigasi menuai kritik dari sejumlah pakar. Beleid yang mengatur konflik norma antar peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang (UU) melalui pengajuan permohonan ke Kemenkumham ini dinilai keliru dan cenderung di luar kewenangan.    Â
Persoalan ini mengemuka dalam sebuah seminar bertajuk 'Quo Vadis, Tata Kelola Regulasi Indonesia? Telaah Akademis Permenkumham No. 32 Tahun 2017, No. 22 Tahun 2018, No. 23 Tahun 2018' di FHUI Depok, Kamis (1/11/2018). Hadir sebagai pembicara yakni Mantan Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan (Dirjen PP) Kemenkumham Wicipto Setiadi, Mantan Hakim MK Prof Maria Farida Indrati, dan Mantan Ketua MA Prof Bagir Manan.
Dalam pandangannya, Wicipto Setiadi menilai Permenkumham No. 32 Tahun 2017 tidak sesuai dengan tugas dan fungsi Kemenkumham seperti diatur Peraturan Presiden (Perpres) No. 44 Tahun 2015 tentang Kemenkumham. Selain itu, kewenangan penyelesaian sengketa konflik norma di instansi pemerintahan ini tak sesuai dengan tugas dan fungsi (tusi) Ditjen PP Kemenkumham seperti diatur Permenkumham No. 29 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kemenkumham.   Â
“Dalam Permenkumham No. 29 Tahun 2015 sama sekali tidak ditemukan kewenangan Ditjen PP sebagai lembaga yang bisa menyelesaikan sengketa perundang-undangan melalui jalur nonlitigasi. Jadi, sebenarnya Kemenkumham (yang didelegasikan kepada Ditjen PP) tidak memiliki kewenangan menguji sengketa konflik norma melalui jalur nonlitigasi ini. Kalau disebut lebih kasarnya lagi, kewenangan ini dapat dikatakan ilegal,†kata Wicipto. Baca Juga: Kenali Mekanisme Penyelesaian Nonlitigasi Sengketa Norma Perundang-undangan